Si Penyebab Kepala Berputar

Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui kausanya sehingga terapi lebih banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif.
Pusing (dizziness) adalah keluhan subjektif yang paling sering ditemui. Banyak sekali ditemukan penyakit yang memberi gejala pusing. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menelusuri dengan rinci, pusing seperti apa yang dimaksud oleh pasien. Vertigo, misalnya. Sesuai asal katanya dari bahasa Latin vertere yang berarti memutar, maka pusing pada vertigo lebih mengarah pada sensasi atau ilusi dari suatu gerakan berputar. Entah, orang itu merasa ruangan di sekitarnya berputar atau dirinya yang memutari ruangan tersebut. Tak jarang pula, vertigo disertai rasa mual, muntah, atau keringat dingin.
Penyakit ini tak kalah pamor dibandingkan penyakit neurologi lainnya. Hal itu dibuktikan dengan “keberhasilannya” menduduki peringkat ketiga sebagai keluhan terbanyak setelah nyeri kepala (migrain) dan low back pain. Menurut dr Abdulbar Hamid, SpS dalam presentasinya di The 3rd Updates in Neuroemergencies Maret 2006, vertigo menjadi momok pada 50% orang tua berusia sekitar 70 tahun di Amerika karena mereka takut terjatuh akibat serangan vertigonya.
Mengenal Sistem Keseimbangan
Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]).
Sistem vestibular sentral terletak pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya, sistem vestibular perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. Labirin tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus dan utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan, serta koklea sebagai reseptor sensori pendengaran. Sementara itu, krista pada kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear.

Segala input yang diterima oleh sistem vestibular akan diolah. Kemudian, diteruskan ke sistem visual dan somatokinetik untuk merespon informasi tersebut. Gejala yang timbul akibat gangguan pada komponen sistem keseimbangan tubuh itu berbeda-beda. [Tabel 1 dan 2]
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Vestibular dan Non Vestibular
Gejala
Vertigo Vestibular
Vertigo Non Vestibular
Sifat vertigo
Serangan
Mual/muntah
Gangguan pendengaran
Gerakan pencetus
Situasi pencetus
rasa berputar
episodik
+
+/-
gerakan kepala
-
melayang, hilang keseimbangan
kontinu
-
-
gerakan obyek visual
keramaian, lalu lintas


Tabel 2. Perbedaan Vertigo Vestibular Perifer dan Sentral
Gejala
Vertigo Vestibular Perifer
Vertigo Vestibular Sentral
Bangkitan vertigo
Derajat vertigo
Pengaruh gerakan kepala
Gejala otonom (mual, muntah, keringat)
Gangguan pendengaran (tinitus, tuli)
Tanda fokal otak
lebih mendadak
berat
++
++
+
-
lebih lambat
ringan
+/-
+
-
+

Berdasarkan awitan serangan, vertigo dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu paroksismal, kronik, dan akut. Serangan pada vertigo paroksismal terjadi mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, lalu menghilang sempurna. Suatu saat serangan itu dapat muncul lagi. Namun diantara serangan, pasien sama sekali tidak merasakan gejala. Lain halnya dengan vertigo kronis. Dikatakan kronis karena serangannya menetap lama dan intensitasnya konstan. Pada vertigo akut, serangannya mendadak, intensitasnya perlahan berkurang namun pasien tidak pernah mengalami periode bebas sempurna dari keluhan. Demikian papar Abdulbar. [Tabel 3]
Jenis Vertigo Berdasarkan Awitan Serangan
Disertai Keluhan Telinga
Tidak Disertai Keluhan Telinga
Timbul Karena Perubahan Posisi
Vertigo paroksismal
Penyakit Meniere, tumor fossa cranii posterior, transient ischemic attack (TIA) arteri vertebralis
TIA arteri vertebro-basilaris, epilepsi, vertigo akibat lesi lambung
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)
Vertigo kronis
Otitis media kronis, meningitis tuberkulosa, tumor serebelo-pontine, lesi labirin akibat zat ototoksik
Kontusio serebri, sindroma paska komosio, multiple sklerosis, intoksikasi obat-obatan
Hipotensi ortostatik, vertigo servikalis
Vertigo akut
Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirinitis akuta, perdarahan labirin
Neuronitis vestibularis, ensefalitis vestibularis, multipel sklerosis
-

Pemeriksaan Fisis dan Neurologis 
Pemeriksaan fisis dasar dan neurologis sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis vertigo. Pemeriksaan fisis dasar yang terutama adalah menilai perbedaan besar tekanan darah pada perubahan posisi. Secara garis besar, pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai fungsi vestibular, saraf kranial, dan motorik-sensorik.
Sistem vestibular dapat dinilai dengan tes Romberg, tandem gait test, uji jalan di tempat (fukuda test) atau berdiri dengan satu atau dua kaki. Uji-uji ini biasanya berguna untuk menilai stabilitas postural jika mata ditutup atau dibuka. Sensitivitas uji-uji ini dapat ditingkatkan dengan teknik-teknik tertentu seperti melakukan tes Romberg dengan berdiri di alas foam yang liat.
Pemeriksaan saraf kranial I dapat dibantu dengan funduskopi untuk melihat ada tidaknya papiledema atau atrofi optik. Saraf kranial III, IV dan VI ditujukan untuk menilai pergerakan bola mata. Saraf kranial V untuk refleks kornea dan VII untuk pergerakan wajah. Fungsi serebelum tidak boleh luput dari pemeriksaan. Untuk menguji fungsi serebelum dapat dilakukan past pointing dan diadokokinesia.
Pergerakan (range of motion) leher perlu diperhatikan untuk menilai rigiditas atau spasme dari otot leher. Pemeriksaan telinga ditekankan pada pencarian adanya proses infeksi atau inflamasi pada telinga luar atau tengah. Sementara itu, uji pendengaran diperiksa dengan garputala dan tes berbisik.
Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai pergerakan mata seperti adakah nistagmus spontan atau gaze-evoked nystagmus dan atau pergerakan abnormal bola mata. Penting untuk membedakan apakah nistagmus yang terjadi perifer atau sentral. Nistagmus sentral biasanya hanya vertikal atau horizontal saja dan dapat terlihat dengan fiksasi visual. Nistagmus perifer dapat berputar atau rotasional dan dapat terlihat dengan memindahkan fiksasi visual. Timbulnya nistagmus dan gejala lain setelah pergerakan kepala yang cepat, menandakan adanya input vestibular yang asimetris, biasanya sekunder akibat neuronitis vestibular yang tidak terkompensasi atau penyakit Meniere.
Uji fungsi motorik juga harus dilakukan antara lalin dengan cara pasien menekuk lengannya di depan dada lalu pemeriksa menariknya dan tahan hingga hitungan ke sepuluh lalu pemeriksa melepasnya dengan tiba-tiba dan lihat apakah pasien dapat menahan lengannya atau tidak. Pasien dengan gangguan perifer dan sentral tidak dapat menghentikan lengannya dengan cepat. Tetapi uji ini kualitatif dan tergantung pada subjektifitas pemeriksa, kondisi muskuloskeletal pasien dan kerjasama pasien itu sendiri.
Pemeriksaan khusus neuro-otologi yang umum dilakukan adalah uji Dix-Hallpike dan electronystagmography (ENG). Uji ENG terdiri dari gerak sakadik, nistagmus posisional, nistagmus akibat gerakan kepala, positioning nystagmus, dan uji kalori.
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang tidak menjadi hal mutlak pada vertigo. Namun pada beberapa kasus memang diperlukan. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap dapat memberitahu ada tidaknya proses infeksi. Profil lipid dan hemostasis dapat membantu kita untuk menduga iskemia. Foto rontgen, CT-scan, atau MRI dapat digunakan untuk mendeteksi kehadiran neoplasma/tumor. Arteriografi untuk menilai sirkulasi vertebrobasilar.

Utamakan Rehabilitatif
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kausal, simtomatik dan rehabilitatif. Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui kausanya sehingga terapi lebih banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif.
Terapi simtomatik bertujuan meminimalkan 2 gejala utama yaitu rasa berputar dan gejala otonom. Untuk mencapai tujuan itu digunakanlah vestibular suppresant dan antiemetik. Beberapa obat yang tergolong vestibular suppresant adalah antikolinergik, antihistamin, benzodiazepin, calcium channel blocker, fenotiazin, dan histaminik. [Tabel 4]
Antikolinergik bekerja dengan cara mempengaruhi reseptor muskarinik. Antikolinergik yang dipilih harus mampu menembus sawar darah otak (sentral). Idealnya, antikolinergik harus bersifat spesifik terhadap reseptor vestibular agar efek sampingnya tidak terlalu berat. Sayangnya, belum ada.
Benzodiazepin termasuk modulator GABA yang bekerja secara sentral untuk mensupresi repson dari vestibular. Pada dosis kecil, obat ini bermanfaat dalam pengobatan vertigo. Efek samping yang dapat segera timbul adalah terganggunya memori, mengurangi keseimbangan, dan merusak keseimbangan dari kerja vestibular.
Antiemetik digunakan untuk mengontrol rasa mual. Bentuk yang dipilih tergantung keadaan pasien. Oral untuk rasa mual ringan, supositoria untuk muntah hebat atau atoni lambung, dan suntikan intravena pada kasus gawat darurat. Contoh antiemetik adalah metoklorpramid 10 mg oral atau IM dan ondansetron 4-8 mg oral.
Terapi rehabilitasi bertujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibular. Mekanisme kerja terapi ini adalah substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensorik untuk fungsi vestibular yang terganggu, mengaktifkan kendali tonus inti vestibular oleh serebelum, sistem visual dan somatosensorik, serta menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimulasi sensorik yang diberikan berulang-ulang.
Tabel 4. Terapi Obat Antivertigo
Golongan
Dosis oral
Antiemetik
Sedasi
Mukosa Kering
Ekstrapiramidal
Flunarisin
Sinarizin
Prometasin
Difenhidrinat
Skopolamin
Atropin
Amfetamin
Efedrin
Proklorperasin
Klorpromasin
Diazepam
Haloperidol
Betahistin
Carvedilol
Karbamazepin
Dilantin
1x5-10 mg
3x25 mg
3x25-50 mg
3x50 mg
3x0,6 mg
3x0,4 mg
3x5-10 mg
3x25 mg
3x3 mg
3x25 mg
3x2-5 mg
3x0,5-2 mg
3x8 mg
Sedang diteliti
3x200 mg
3x100 mg
+
+
+
+
+
+
+
+
+++
++
+
++
+
-
-
-
+
+
++
+
+
-
-
-
+
+++
+++
+++
+
-
+
-
-
-
++
+
+++
+++
+
+
+
+
-
+
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
+
-
++
+++
-
++
+
-
-
-


BPPV
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan jenis vertigo vestibular perifer yang paling sering ditemui, kira-kira 107 kasus per 100.000 penduduk, dan lebih banyak pada perempuan serta usia tua (51-57 tahun). Jarang ditemukan pada orang berusia dibawah 35 tahun yang tidak memiliki riwayat cedera kepala.
Dari namanya, jelas bahwa vertigo ini diakibatkan perubahan posisi kepala seperti saat berguling di tempat tidur, membungkuk, atau menengadah ke atas. Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih samar. Tapi penyebabnya sudah diketahui pasti yaitu debris yang terdapat pada kanalis semisirkularis biasanya pada kanalis posterior. Debris berupa kristal kalsium karbonat itu dalam keadaan normal tidak ada. Diduga debris itu menyebabkan perubahan tekanan endolimfe dan defleksi kupula sehingga timbul gejala vertigo.
Salah satu cara yang sangat mudah dikerjakan untuk mendiagnosis BPPV adalah uji Dix-Hallpike, yaitu dengan menggerakkan kepala pasien dengan cepat ke kanan, kiri dan kembali ke tengah. Uji itu dapat membedakan lesi perifer atau sentral. Pada lesi perifer, dalam hal ini positif BPPV, didapatkan vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, menghilang dalam waktu kurang dari 1 menit, berkurang dan menghilang bila uji diulang beberapa kali (fatigue). Berbeda dengan lesi sentral, periode laten tidak ditemukan, vertigo dan nistagmus berlangsung lebih dari 1 menit, dan bila diulang gejala tetap ada (non fatigue).
Obat tidak diberikan secara rutin pada BPPV. Malah cenderung dihindari karena penggunaan obat vestibular suppresant yang berkepanjangan hingga lebih dari 2 minggu dapat mengganggu mekanisme adaptasi susunan saraf pusat terhadap abnormalitas vestibular perifer yang sudah terjadi. Selain itu, efek samping yang timbul berupa ngantuk, letargi, dan perburukan keseimbangan.
Tanpa obat bukan berarti tidak ada terapi untuk mengurangi gejala vertigo pada BPPV. Adalah manuver Epley yang disinyalir merupakan terapi yang aman dan efektif. Manuver ini bertujuan untuk mengembalikan debris dari kanalis semisirkularis posterior ke vestibular labirin. Angka keberhasilan manuver Epley dapat mencapai 100% bila dilatih secara berkesinambungan. Bahkan, uji Dix-Hallpike yang semula positif menjadi negatif. Angka rekurensi ditemukan 15% dalam 1 tahun. Meski dibilang aman, tetap saja ada keadaan tertentu yang menjadi kontraindikasi melaksanakan manuver ini yaitu stenosis karotid berat, unstable angina, dan gangguan leher seperti spondilosis servikal dengan mielopati atau reumatoid artritis berat.
Setelah melakukan manuver Epley, pasien disarankan untuk tetap tegak lurus selama 24 jam untuk mencegah kemungkinan debris kembali lagi ke kanal semisirkularis posterior. Bila pasien tidak ada perbaikan dengan manuver Epley dan medikamentosa, pembedahan dipertimbangkan.

Penyakit Meniere
Contoh lain dari vertigo vestibular tipe perifer adalah penyakit Meniere (Meniere disease) atau hidrops endolimfatik. Penyakit ini lebih “memilih” orang kulit putih. Di Inggris, prevalensinya sebesar 1 per 1000 penduduk. Laki-laki atau perempuan mempunyai risiko yang sama. Bisa terjadi pada anak-anak namun paling sering antara usia 20-50 tahun.
Pada penyakit ini terjadi gangguan filtrasi endolimfatik dan ekskresi pada telinga dalam, menyebabkan peregangan pada kompartemen endolimfatik. Penyebabnya multifaktor. Dari kelainan anatomi, genetik (autosom dominan), virus, autoimun, vaskular, metabolik, hingga gangguan psikologis.
Gejala penyakit Meniere lebih berat daripada BPPV. Selain vertigo, biasanya pasien juga mengalami keluhan di telinga berupa tinitus, tuli sensorineural terhadap frekuensi rendah, dan sensasi rasa penuh di telinga. Ada 3 tingkat derajat keparahan penyakit Meniere.
Derajat I, gejala awal berupa vertigo yang disertai mual dan muntah. Gangguan vagal seperti pucat dan berkeringat dapat terjadi. Sebelum gejala vertigo menyerang, pasien dapat merasakan sensasi di telinga yang berlangsung selama 20 menit hingga beberapa jam. Diantara serangan, pasien sama sekali normal.
Derajat II, gangguan pendengaran semakin menjadi-jadi dan berfluktuasi. Muncul gejala tuli sensorineural terhadap frekuensi rendah.
Derajat III, gangguan pendengaran tidak lagi berfluktuasi namun progresif memburuk. Kali ini mengenai kedua telinga sehingga pasien seolah mengalami tuli total. Vertigo mulai berkurang atau menghilang.

Obat-obatan seperti proklorperasin, sinnarizin, prometasin, dan diazepam berguna untuk menekan gejala. Akan tetapi, pemakaian proklorperasin jangka panjang tidak dianjurkan karena menimbulkan efek samping ekstrapiramidal dan terkadang efek sedasinya kurang dapat ditoleransi, khususnya kaum lansia.
Intervensi lain berupa diet rendah garam (<1-2 gram per hari) dan diuretik seperti furosemid, amilorid, dan hidroklorotiazid. Namun, kurang efektif menghilangkan gejala tuli dan tinitus.
Terapi ablasi sel rambut vestibular dengan injeksi intratimpani gentamisin juga efektif. Keuntungan injeksi intratimpani daripada sistemik adalah mencegah efek toksik berupa toksisitas koklea, ataxia, dan oscillopsia.
Pada kasus jarang dimana penyakit sudah kebal dengan terapi obat, diet dan diuretik, pasien terpaksa harus memilih intervensi bedah, misalnya endolimfatik shunt atau kokleosakulotomi.
Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya, menandakan prognosis yang buruk. Semoga dengan kemajuan ilmu bedah saraf di masa yang akan datang, vertigo tak lagi menjadi momok.

Manuver Valsava

Manuver Valsava adalah pembuangan napas paksa dengan menutup bibir dan hidung untuk mendesak udara masuk ke telinga dalam ketika saluran Eustachi terbuka. Manuver Valsava dengan sedikit modofikasi dapat juga digunakan untuk menguji fungsi jantung dan kontrol saraf otonom jantung atau untuk menyamakan tekanan di dalam telinga ketika terjadi perbedaan tekanan pada olah raga selam dan dirgantara.

Manuver Valsava terdiri dari 4 fase:

  1. Kenaikan tekanan inisial
  2. Pengembalian darah vena yang tereduksi dan kompensasi
  3. Pelepasan tekanan
  4. Keluaran jantung kembali normal

Untuk menyamakan tekanan di dalam telinga, dapat juga dilakukan dengan cara menguap. Menguap lebih aman dilakukan dibandingkan manuver Valsava.

Manuver Valsava diambil dari nama Antonio Maria Valsava, dokter dan ahli anatomi dari Italia

Idul Adha 1431 H


Idul Adha tahun ini dirayakan tanggal 17 Novenber 2010. Sudah kedua kalinya lebaran di Lampung, setelah tahun lalu sholat Ied bersama Bu Joko dan Mba Dewi (03). Alhamdulillah, keberkahan itu masih bisa kurasakan walaupun mungkin tidak bersama keluarga secara langsung.

Ya, tahun ini suasana lebaran agak sedikit berbeda. Penghuni kos Arbenta, yang lebih suka aku sebut dengan Arbenta Paradise, banyak yang berlebaran di Lampung. Apalagi anggota DORLAN-Kedokteran Nol Sembilan jumlahnya lumayan banyak juga yang tinggal di sini. Kurang lebih ada 6 orang. Shinta Tri Lusiani, Ayu Zahera Adnan, Shella Arivia, gw, Rinavi Adrin, Nabila Putri Astrini, ya kecuali Shella Arivia (asal Kota Bumi), semua merayakan lebaran di sini - Kota Perjuangan.

:D

17 November 2010,
Takbir dikumandangakan, muslim dan muslimat berbondong - bondong ke masjid untuk sholat Ied. Masjid al-Wasi'i menjadi tujuan Arbenta Paradise. Dan... ternyata di sana kami ketemu sama teman sejawat (insyaAllah Aamiin) yang bernasib sama - YS Paradise. haha. Cukup bikin tenang, berpikir untuk tidak terlalu sedih akan kenyataan harus lebaran sendiri di kota orang, karena ternyata masih ada teman yang mau menemaniku untuk tidak terus - terusan meratapi kesedihan ini. :')

Agenda selanjutnya, tancap ke rumah R.a Siti Marhani, setelah sebelumnya jemput si abang kesayangan, Rosdiana Elisabeth, Annida Nurul Haq, dan Sri Puji Hartini. Makan daging "kurban", itu tujuan utama kami. (dasar anak kos). haha


Ok, hampir sehari sudah waktu lebaran ini dihabiskan, hampir lupa rasanya sama kesedihan - kesedihan yang tadi sempat singgah sebentar.

Lanjut, jalan - jalan liat "sapi dibegal". Tapi akhirnya kami harus kecewa, karena semua prosesi itu sudah selesai. Padahal udah cek ke semua tempat eksekusi, mulai dari al-Wasi'i sampai Masjid di Kampung Baru..
Kecewa! tapi juga ga sedih - sedih banget kok, karena kenyang baru selesai makan ketupat, rendang, dan sejenisnya..




Ya, sehari lah kurang lebih, lebaran penuh manfaat asalkan kita bisa memanfaatkannya sebaik mungkin.
Sekarang baru sadar,

  • Untuk sukses butuh perjuangan, buktinya dengan pengorbanan, salah satunya adalah siap dengan konsekuensi jauh darikeluarga, termasuk di saat - saat seperti Hari Raya.
  • Yang mengubah keadaan itu bukan waktu, tapi yang terjadi dalam waktu itulah yang mengubah. Jadi, masalahnya bukan hari apa ini, hari raya Ied-kah atau hari liburkah, tapi apa yang bisa kita lakukan pada hari itu.. Itu yang terbaik.
  • pada hari itu juga, hani udah ngingetin lagi kalau motto ini udah ga zaman lagi : hidup ini mah ngalir aja, kayak air. Emang boleh aja, tapi alangkah lebih banyak keuntungannya kalau kita hidup bagai air yang mengalir, tapi kita kasih selang dalem tanahnya biar airnya bisa ngalir ke arah yang kita ingin tuju, jadi air itu ngalirnya ga cuma ngeresep aja berantakan di tanah. 
  • Intinya,  takdir emang Allah udah menentukan, tapi usaha kita juga pasti dinilai dan dipertimbangkan. 

 

Semoga bermanfaat buat yang baca..berbagi pengalaman, dan mencoba mengambil hikmah dari apa yang kita peroleh, minimal itu yang sedang kita pelajari. Semangat kawan!






Disease of External Ear

Diseases of External Ear

As we have learned the anatomy of external ear in the previous post ,now we will check important high yield facts about external ear diseases.
we divide the topic into:
  1. congenital disorders
  2. traumatic
  3. inflammatory
  4. neoplastic.
congenital disorders:
auricle/pinna:
bat ear(lop ear) :"lop"-to hang down loosely
  • Definition: The external ear stands away from the head at a greater angle (Normal angle of the auricle to the median plane averages 25 degrees in boys and 18 degrees in girls). Lop ears are usually larger than normal ears.
  • concha is large
  • poorly developed antihelix & scapha.both these feature clearly seen in this picture.
  • Associates anomalies: Commonly associated with the following:
  1. Ehlers-Danlos syndrome: Unusual facies, lop ears, hyperextensible joints, hip dislocation, inguinal hernia with autosomal recessive inheritance.
  2. Towns-Brocks syndrome: Lop ears, imperforate anus, hypoplastic kidney, ventricular septal defect, limb anomalies with autosomal dominant inheritance.
otopl_1b
  • treatment - by surgical correction -Bat ear correction or otoplasty, is a plastic surgery procedure designed to pull the ears closer to the head. Otoplasty involves reshaping, remodeling, and reforming the outer ear.
anotia:
  • complete absence of pinna
  • part of "First arch syndrome"
Macrotia:
  • Definition: Macrotia means large ears.
  • The auricle is usually very large but well shaped without other ear malformations.
  • The most exaggerated portion is the scaphoid fossa.
microtia:
  • Microtia means small ears
1_29.sized
  • associated anomalies :
DIAGNOSIS MINIMAL CRITERIA
microtia Isolated microtia
Hemifacial microsomia Unilateral microtia
Goldenhar syndrome Unilateral microtia, small malformed mandible
Oculo-auriculo-vertebral dysplasia Unilateral microtia, small malformed mandible, epibulbar dermoids, anomalies of the cervical spine
note:
  • microtia-anotia is an essential component of isoretinoin embryopathy,
  • important manifestation of thalidomide embryopathy, and
  • can be part of the fetal alcohol syndrome and
  • maternal diabetes embryopathy.
  • Microtia-anotia occurs with a number of single gene disorders, such as Treacher-Collins syndrome, or chromosomal syndromes, such as trisomy 18.
  • Rubella and other intrauterine infections
  • Trisomy 21: Mean ear length and measured: expected ear length ratios are significantly lower in 75% of fetuses with trisomy 21
  • Retinoic acid embryopathy



preauricular appendages:
  • Definition: tags of skin with or without a cartilaginous base frequently located in the line drawn from tragus to angle of mouth.
  • are often associated with microtia, melotia( Definition: Ear located on the cheek.) or oblique facial features
preauricular pit or sinuses:
  • due to a failure in the fusion of the primitive ear hillocks, or to a defective closure of the first branchial cleft
  • characteristically located in or just in front of the anterior crus of the helix.
preauricular pit
  • The pits often discharge a cheesy substance, which consists of desquamated keratin debris.
Low-set ears
 

low set ears
Associated anomalies: Commonly associated with the following
  • Noonan syndrome: webbing of the neck, pectus excavatum, cryptorchidism, pulmonary stenosis. Ears are low-set with or without abnormal auricles. 25% have mental retardation. Koretzy et al. described an unusual type of pulmonary valvular dysplasia which showed a familial tendency with either affected parent and offspring or affected sibs. Other features were retarded growth, abnormal facies (triangular face, hypertelorism, low-set ears and ptosis of the eyelids)
  • Pena Shokeir phenotype: Neurogenic arthrogryposis, pulmonary hypoplasia, hypertelorism with low-set malformed ears. 30% are stillborn. Majority of those liveborn die within the first month of life[15].
  • Trisomy 18:Clenched hand, short sternum, low arch dermal ridge patterning on fingertips and low-set malformed auricles. Only 5% to 10% survive the first year as severely mentally defective individuals.
Synotia
  • Definition: In Agnathia-Synotia-Microstomia, the ears are very close to each other due to absence or hypoplasia of the mandible.
  • The external ears assume a horizontal position with the lobules located near the midline.
synotia
  • "Bow-tie" ear due to failure of migration in Agnathia-Synotia-Microstomia
External auditory canal:
atresia:
when occurs alone when in association with microtia
due to failure of canalisation of ectodermal corethat fills the dorsal part of first branchial cleft associated with abnormailities of middle ear ,inner ear
outer meatus-filled with fibrous tissue or bone total atresia
deep meatus-normal

collaural fistula:
  • has two openings, the lower one situated in the neck between the angle of the mandible and the sternomastoid muscle, the upper in the floor of the external auditory canal or intertragal notch.
collaural fistula
The lower opening of the collaural fistula is outlined with a blue circle .
traumatic :
auricle:
hematoma of auricle :
hematoma cauliflower ear
  • collection of blood b/w auricular cartilage & perichondrium.
  • this blood may clot & organise into "cauliflower ear"
  • treatment -
  1. aspiration of hematoma & pressure dressing.
  2. if aspiration fails -incision & drainage
  3. prophylactic antibiotics.
{note: do as fast as possible since due to hematoma ,the vascular supply of cartilage is cut-off ,therefore it would cause avascular necrosis of cartilage.}
laceration:
  • cut in the pinna
  • treatment: as fast as possible by stiching
  1. perichondrium - absorbable suture use
  2. skin - non-absorbable suture
  3. broad spectrum antibiotics
avulsion of pinna:
avulsion
  • The blood supply to the auricle is excellent and its metabolic demands are relatively low; therefore, primary reattachment is frequently successful, even with a tenuous pedicle.
  • treatment :Management of these injuries consists of an early meticulous reimplantation, with minimal debridement and the use of low-dose heparin sodium to prevent thrombosis, appropriate antibiotic coverage to prevent infection, and multiple stab incisions to relieve venous congestion while revascularization is taking place.
keloid :
  • excessive scar at site of piercing
Keloid_2
  • usual sites-lobule or helix
{note-Hypertrophic scars remain within the confines of the wound and flatten spontaneously over one or more years. By contrast, keloids not only persist but frequently extend beyond the site of the original injury. Keloids occur more commonly in blacks than in whites and develop more frequently in the second and third decades of life.}
  • treatment:
  1. surgical excision causes recurrence.
  2. to prevent recurrence-
  • pre & post-operative radiation with total dose of 600-800 rad delivered in 4 divided doses
  • local injection of steroid after excision.
ear canal:
minor lacerations major lacerations
from Q-tip injury gun shot wounds,accidents
heal without sequelae stenosis of ear canal is common problem

ear drum:traumatic rupture
  • trauma due to hair pin ,match stick
  • sudden change in pressure- slap , forceful valsava procedure
  • fracture of temporal bone
treatment: minor injury-heal by themselves
if it doesn't heal-tympanoplasty.
inflammatory disorders:
pinna:
PERICHONDRITIS RELAPSING POLYCHONDRITIS
infection secondary to laceration ,hematoma ,surgical incision or extension of infection from ear canal autoimmune in origin
pseudomonas is important cause.others-Staphylococcus aureus, and Streptococcus pyogenes does not involve any bacteria
symptoms-red ,hot ,painful pinna & stiff same & other cartilages like tracheal ,nasal septum ,coastal cartilages also involved.
later abscess may form no
treatment-early stage:systemic antibiotics like fluoroquinolones-ciprofloxacin are drug of choice Treatment is with oral corticosteroids.
if an abscess is present, surgical incision and drainage often are necessary.

{note:in both these conditions lobule is unaffected thus differentiating from cellulitis.}
chondrodermatitis nodularis chronica helicis:
  • small benign painful nodules on free border of helix
chondrodermatitis nodularis
  • most authorities believe it is caused by prolonged and excessive pressure.check this on emedicine
  • treatment:surgical excision of underlying cartilage.
{note:The most important medicolegal pitfall associated with CNH may be the misdiagnosis of a true malignancy as CNH, thereby resulting in failure to perform a biopsy and to treat it as a malignancy.}

Cauliflower Ear

Cauliflower ear by Dr.Catherine Huang-Begovic
 
Cauliflower ear – we’ve all seen it.  What is it, what causes it, and how do you treat it?

Cauliflower ear is a deformity of the external ear resulting in thickening, scarring, and disfigurement of the ear.  Many fighters, wrestlers, and athletes develop this condition as a result of trauma to their ear.  The external ear is made of cartilage covered by perichonidrium (covering for cartilage) covered by skin.  When an ear is injured, a pool of blood (hematoma) forms over the cartilage and traumatically separates it from the skin.  The local inflammatory reaction to the blood causes formation of scar and new cartilage on top of the normal structure thus forming heaps of tissue that looks like cauliflower – giving this condition the name “cauliflower ear.”

The best treatment is to prevent this thick scar formation by draining the blood and re-draping the skin and perichondrium onto the cartilage as soon as possible.  The sooner this is done, the better.  This means within a few hours.  Waiting a day or two significantly increases your chances of forming thick scar.   Also, putting a pressure dressing on the site is crucial to prevent the hematoma from reforming.  I personally like to sew a bolster on each side of the ear to create a sandwich and re-shape the contour of the ear.  It’s worked well in preserving a nice cosmetic shape to the ear, even in extreme trauma cases.
In the cases where the scar forms, the treatment for cauliflower ear is very difficult.  Advanced reconstructive surgery will need to be performed.  The scar needs to be removed and sometimes the cartilage needs to be reshaped and covered with repositioned skin.  

Sometimes cartilage needs to be rebuilt with cartilage borrowed from other areas of the body.    Local flaps and skin grafting may be needed to try to reconstruct the ear.  Each patient needs to be assessed individually and the solution tailored specifically and precisely by an experienced plastic and reconstructive surgeon.  However, despite the best efforts, the ear will almost always never look completely back to normal and scar formation can recur.
Cauliflower ear is a difficult problem to fix and I cannot stress enough the importance of prevention.  Ear protection should be worn when possible.  In the cases where a hematoma forms, an experienced doctor should drain it immediately.  Otherwise, thick scar will form, and only complex surgery and often multiple surgeries may necessary to bring the ear back to a more normal shape.

Dr. Cat Huang Begovic
Plastic & Reconstructive Surgeon

TUMOR HIDUNG

TUMOR HIDUNG
Lalu W.J. Hardi

PENDAHULUAN

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. 

Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. 

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.

2. Epidemiologi dan etiologi
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per 10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar 2:1.
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.
Banyak laporan mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. 

Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000 penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di Jepang dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan pada anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu 7:100.000 pada pasien dalam delapan dekade.
Rousch (1999) memperkirakan bahwa di atas 80% dari semua tumor ganas pada manusia dihubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini kemungkinan tinggi, bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-pasien yang terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.
Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan pembuat furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini, agen yang berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan juga meningkatkan kanker hidung.

Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari kavum nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum. Untuk tumor yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.

3. Jenis Histopatologi
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain. 

Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adeno¬karsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah hema¬ngioperisitoma, bermacam-macam sarkoma ter¬masuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti lim¬foma malignum, plasmasitoma atau pun poli¬morfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini. 

Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.

4. Klasifikasi Tumor :

1. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.

2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. 

Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.
Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

3. Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus lakrimal) .

5. Pemeriksaan
1. Gejala dan tanda
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. 

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

2. Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. 

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

3. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

6. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.

7. Terapi Tumor Hidung dan Sinus Paranasal
Bedah tumor endonasal terdiri dari reseksi tumor dibawah kendali endoskop, diikuti dengan eksisi jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya. Semua ini memerlukan diagnostik gambaran TK yang adekuat sebelum operasi, diagnostik histologi, dan instrumentasi operasi yang tepat. Sangat diperlukan seorang operator yang sangat menguasai anatomi lokal dan pengalaman yang komprehensif dalam melakukan bedah endoskopik. Sebelumnya pasien harus diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dijalankan dan telah membuat informed consent, termasuk juga bila dibutuhkan perluasan pembedahan baik melalui rute bedah eksternal maupun transoral.

Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu melalui pendekatan transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Pendekatan endonasal menghindari insisi eksternal dan internal serta mobilisasi jaringan, sehingga menghindari pembentukan parut yang tidak diinginkan, stenosis duktus lakrimalis, mukokel, dan neuralgia. Komplikasi dan gejala ikutan yang dapat merugikan pasien lebih rendah, sehingga metode ini dapat diterima dengan baik.

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit sekitar hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus paranasal.
Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1, tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor meluas ke orbita, sinus sphenoid dan frontal dan atau rongga intracranial.
Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2 (diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter terbesar lebih dari 6 cm). metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada metastasis).

Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut:
T : Tumor.
T—1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T—2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
T—3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.
d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.
T—4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b. Invasi ke fosa pterigoid.
c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra
lateral.
d. Invasi ke lamina pterigoid.
e. Invasi ke selule etmoid posterior.
f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.
N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.
N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.
M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2), stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.

  •  Stadium :


Stadium 0
T1s
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0
Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
T2a
T2b
N1
N1
N0,N1
M0
M0
M0
Stadium III
T1
T2a,T2b
T3
N2
N2
N2
M0
M0
M0
Stadium IV a
T4
N0,N1,N2
M0
Stadium IV b
Semua T
N3
M0
Stadium IV c
Semua T
Semua N
M1


DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2006. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi 2000-2005. Jakarta: Bagian THT FKUI – RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
2. Cody, DeSanto et al. 2000. Neoplasma of the Nasal Cavity in in Cummings – Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York: Maple Vail Book Manufacturing Group Mosby-Year Book.
3. Depkes RI. 2003. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat. Jakarta: Jalan Di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003, Depkes RI.
4. Hosemann W. 2001. Role of Endoscopic Surgery in Tumor. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases of The Sinuses, Diagnosis and Management. London: Hamilton.
5. Roezin, A. et al. 2007. Tumor Hidung dalam : Soepardi E, Iskandar N, eds., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: BP FK UI.
6. Rousch GC. 1999. Epidemiology of Cancer of The Nose and Paranasal Sinuses -Current Concepts in Cummings – Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York: Maple Vail Book Manufacturing Group Mosby-Year Book.

SINUSITIS