Anak - Anak Ini Guru Kami

Jadi koass itu melelahkan, tapi nikmat dijalanin..hehe.
Mungkin itu yang dialami sebagian kami, koass. Namanya saja ko (read:pembantu) ditambah lagi dengan ass (read:asisten). Ya itulah kami, pembantu plus asisten dokter di sini..selama 1 tahun 8 bulan kurang lebih akan terus berjuang. Perjuangan yang nanti akan terus berlanujut, long life learning. Belajar dari berbagai hal, termasuk anak - anak ini yang menjadi guru kami.

Hari ini aku bertugas di Alamanda, bagian Thallasemia. Anak - anak thallasemia menyebut ruangan ini sebagai "unit". Sekitar pukul 08.00 WIB ada sekitar 8 bed yang terisi penuh oleh pasien. Pasien thallasemi yang datang hari ini mulai dari usia 6 bulan - 19 tahun. Mereka sebagian besar sudah menginap 1 hari sebelumnya, karena transfusi darah mereka belum selesai, jadi harus dilanjutkan hari ini.

Sepertinya mereka sudah terbiasa bertemu orang - orang baru, perawat baru, koass baru, tapi tidak bagi sesama mereka, penderita kelainan darah. Bagaimana tidak, mereka rata-rata datang ke "unit" ini minimal 1 bulan sekali untuk transfusi. Hitung saja jika usia mereka 16 tahun, dan mereka mulai transfusi usia 3 tahun. Berarti mereka sudah transfusi selama 13 tahun, setiap bulan datang ke "unit". Ya, mereka penderita thallasemia dan para orang tua, semuanya sudah saling mengenal, seperti keluarga. 

Ada pula penderita hemofilia di unit ini. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak penderita thallasemia. Semua menjadi satu dalam ruangan ini. Para ibu sepertinya juga punya organisasi sendiri. Mereka punya ketua, di mana ibu ketua ini yang mengumpulkan iuran para orang tua, untuk membeli kipas angin contohnya. Maklum saja, ruangan ini cukup panas, karena sebuah air conditioner sepertinya tidak memadai untuk mendinginkan 1 ruangan, yang jika ramai bisa mencapai 20-an pasien. Ah, jelas kekeluargaan seperti ini hanya terjadi di ruangan ini, thallasemia.

Rasa kekagumanku semakin bertambah, mendapati penghuni ruangan ini amat ramah. Ibu - ibu dan putra - putrinya sepertinya sudah sangat memahami penyakit yang diderita anaknya. Mereka bisa dengan lancar menyebutkan peralatan dan obat -obatan keperluan transfusi mereka. Orang tua dengan cekatan pula melepaskan infus anaknya sendiri. Ya, benar pepatah bilang - alah bisa oleh biasa. Salut untuk mereka.

Kasih sayang orang tua juga sangat terasa di ruangan ini. Orang tua dengan cekatannya mengurus keperluan anaknya untuk transfusi, dengan sabarnya menunggui anak - anaknya hingga darah benar - benar mengalir lancar masuk ke tubuh anaknya. Dan mengelus sayang kepada anaknya, seakan berkata bahwa kamu harus kuat nak, jangan lelah untuk terus berobat. 

Mengenai kecerdasan anak - anak disini, jangan ditanya. Mereka cerdas, semangat membaca mereka boleh diapresiasi. Ada 1 rak buku di pojok ruangan ini yang menjadi langganan bacaan mereka.. Jumlahnya masih terbatas, namun cukup untuk mengobati penat mereka sembari transfusi yang cukup menyita waktu. Semangat belajar mereka luar biasa. Sebagian ada yang mampu membaca dan menuis, walaupun sebagian lagi putus sekolah karena kendala biaya. Namun cita - cita mereka luar biasa.

"Adek kalau udah gede mau jadi apa?"
"Aku mau jadi koki.."
"Kenapa mau jadi koki?"
"Jadi kok itu enak, bisa jalan - jalan..bisa makan..hati senang. Lazziis (sambil mendekatkan ibu jari dan telunjuk kanan ke mulutnya, enirukan gaya koki di tv)"
"Aku punya resep sendiri lho kak, urak - arik telor..hahaha" 
"kalau kamu??" (tanyaku pada yang lain)
"Aku mau jadi Ustadz" 
"Kenapa mau jadi Ustadz?"
"Enak jadi ustadz, pahalanya banyak.."

Aaah, cita - cita luhur mereka semoga Allah kabulkan.

Sejak saat ini, kuhaturkan terima kasih kepada adik - adik atas pelajaran yang kalian berikan. Bahwa hidup itu memang harus diperjuangkan dengan semangat. Bukan dengan mengeluhkan yang Allah sudah takdirkan, tapi mengusahakan dengan segenap kekuatan yang ada, diringi dengan keihkhlasan hati semoga Allah mampukan kita, semoga Allah kuatkan kita menghadapi semua.








Gema Takbir dari Ketinggian

Tinggal kurang dari 1 jam lagi hari akan berganti. Hari ini 10 Zulhijjah 1434 H umat Islam merayakan Idul Adha. Banyak cara mengungkap rasa. Ya, banyak cara kita untuk mengungkapkan kegembiraan kita menyambut hari raya. Tentu dengan tetap memahami esensi hari raya idul adha. Sebagian kita berkumpul dengan keluarga tercinta, menikmati menu hari raya berupa ketupat dan opor ayam. Sebagian sedang beribadah haji di tanah suci. Ada pula yang berkurban sementara yang lain menunggu bagian hewan kewan kurban. Aaaaah, jelas ada banyak cara. Sementara aku di sini juga dengan cara yang berbeda.

Ya, mungkin aku tak pantas bersedih. Karena pasti aku tak sendiri, ada banyak orang-orang yang juga belum bisa menikmati hari raya dengan berkumpul bersama keluarga. Ada banyak yang bahkan benar-benar bisa dibilang TIDAK bisa berkumpul, karena memang tidak memiliki keluarga. Ya, tidak ada alasan bagi ku untuk bersedih. Ini jalan yang kupilih sendiri, dan ini salah satu prosesnya. Bahwa pendidikan itu ada proses yang mesti dijalani. Mengikhlaskan hati bahwa saat ini belum bisa berlebaran dengan keluarga tercinta.

Di rumah sakit ini aku banyak belajar. Banyak diingatkan tentang keikhlasan profesi ini. Setiap hati ini mulai lelah dan mulai lupa akan hakikatnya, semakin pula aku berusaha mengingatkan lagi kepada hati bahwa inilah konsekuensinya. Ada kewajiban kita di sini, ada hak pasien pula yang harus kita penuhi. Ada pula hak keluarga kita yang mesti kita tunaikan. Keluh kesah pasien ini menjadi penyemangatku kembali bahwa syukur itu mesti ada, mesti ada pada kita yang sedang sehat, pada kita yang masih Allah berikan keluangan waktu, pada kita yang masih punya kelapangan, pada kita yang belum menua. Rintihan mereka semakin mengingatkanku bahwa kematian kita amalah dekat, dan kita mesti mempersiapkannya..

Aaaah, gema takbir hari ini lantang terdengar. Dari ketinggian aku coba menikmatinya. Subhanallah, indah! Dari ketinggian, Allah ajarkan kita untuk menunduk. Allah perlihatkan bahwa kita hanyalah setitik makhluk. Gunung yang menjulangpun hanya berupa gambaran nan mungil dari kejauhan. Semilir angin bersama kapuk yang beterbanganpun menjadi lebih indah dinikmati ketimbang bangunan nan tinggi. Indah !

Memang, dengan sudut pandang yang berbeda, kita mampu mengubah masalah menjadi anugerah.














Sudut kota perjuangan, dari ketinggian kita pun dapat belajar banyak hal
15 Oktober 2013-10 Zlhijah 1434 H