Melakoni Profesi dengan Hati

Sudah hampir 2 minggu aku dan teman - teman menjalani kepaniteraan klinik bagian anak di RSAY Metro. Stase surga, katanya. Haha.. Benar saja, stase ini memang menyenangkan. Ya, setidaknya bisa "menghela napas" ketika menjalani kepaniteraan di bagian ini dan di kota ini. :D

Kali ini sekitar pukul 09.00 aku dan sahabatku, sebut saja jahe (ginger *hehe) bertugas di poliklinik anak. Belum banyak pasien yang datang ke poli. Sebagian mungkin sedang mengurus adminstrasi jaminan kesehatannya dengan antrian yang tidak sedikit, atau mungkin sebagian lagi sedang mengurus pembayaran dan mencari rekam medis lamanya.

Hari ini aku dan rekanku mengobrol santai, membahas masalah isu kesehatan yang sedang hangat diperbincangkan oleh khalayak. Ya, kriminalisasi dokter.


Ya, miris memang jika kita memikirkan kondisi yang terjadi saat ini. Akan panjang paragraf ini jika kita menuliskan keluh kesah. Akan lelah hati ini jika kita menuliskan rasa kecewa kita terhadap pemangku kuasa. Akan banyak pula ungkapan kesedihan jika kita terus meratapi nasib profesi ini ke depannya jika tetap dalam kondisi saat ini.

Ah, lelah! Kenapa tak kita ubah sudut pandangnya. Kali ini kami tertarik untuk membahasnya dari ruang lingkup yang lebih kecil. Dari ruang lingkup aku, bukan dia! Ya, aku saat ini sedang menjalani pendidikan profesi. Aku merasakan bahwa ada "kejanggalan" di sini, dalam hatiku. Aku merasakan kehampaan selama ini. Ya, hati..

Aku merasa bahwa profesi ini mengajarkan banyak hal terutama masalah hati. Begini ilustrasinya, aku membayangkan diriku dengan aktivitas kepaniteraanku sehari - hari. Bekerja bersama - sama dengan perawat, dokter, dokter spesialis, prakarya, tukang parkir, cleaning service, penjaga keamanan, dan pasien. Setiap hari, selalu begitu kurang lebih.

Ada rasa yang berbeda setiap harinya. Ada gembira, ada kesal, ada marah, ada sedih, ada tertawa, ada juga yang mengharukan. Ya, begitu terus setiap harinya, silih berganti rasa. Ini menarik menurutku, rasa yang berbeda itu muncul akibat interaksi dengan orang - orang tersebut.

Sebagian orang mungkin paham, bahwa untuk bekerja di bidang kesehatan, team work amatlah penting. Pasien datang ke sebuah rumah sakit. Pertama-tama ia akan mendaftarkan dirinya ke administrasi, bertemulah ia dengan seorang yang duduk di meja komputer untuk melayani pendaftaran. Kemudian dengan membawa lembar rekam medisnya, pasien menuju ke ruang periksa. Di ruang periksa disambut terlebih dahulu oleh perawat untuk kemudian disiapkan keperluannya sebelum bertemu dengan dokter. Setelah siap, dokterpun kemudian memeriksa pasien. Dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu oleh dokter muda (koas). Jika diperlukan, pada pasien akan dilakukan pemeriksaan penunjang seperti cek laboratorium darah, urin, maupun radiologi (misal rontgen atau USG). Ya, di sana mereka akan bertemu petugas laboratorium di ruang periksa. Setelah dipastikan diagnosanya, pasien diberi resep oleh dokter. Kemudian pasien akan mengambil resep tersebut ke apotek. Di apotek, pasien akan bertemu dengan seorang yang pandai farmasi. Kemudian pasien pergi ke kasir untuk melakukan pembayaran. Inilah, siklus besar yang setiap harinya dialami oleh sebagian besar pasien.

Belum lagi jika pasien diputuskan dokter untuk menjalani rawat inap, maka pasien akan berhadapan dengan pengantar makanannya pagi, siang, dan malam. Petugas kebersihan yang senantiasa membersihkan ruang kamar rawat inapnya setidaknya 2 kali dalam sehari. Kemudian akan bertemu dengan perawat yang akan memberikan pelayanan kepada pasien, seperti menyuntikkan obat melalui pembuluh darah, membantu keperluan pasien seperti BAK dan memandikan pasien, atau mengganti botol infus jika infus habis.

Itulah sepenggal kegiatan yang aku temukan.
Bagi sebagian orang, mungkin menjadi petugas kesahatan adalah pekerjaan yang mulia. Ingat ketika kecil, ketika kita ditanya, " Mau jadi apa nak kalau sudah besar?". Tidak sedikit yang menjawab ingin jadi dokter. Pun dengan ku, yang kubayangkan saat itu adalah menjadi dokter itu keren, bisa bantu orang sakit jadi sembuh titik.

Apa yang kemudian saat ini aku rasakan? Ternyata tidak sepenuhnya demikian. Kemuliaannya bukan terletak pada apa profesinya, tapi pada hati.

Coba pikirkan, seorang dokter saja misalnya yang bekerja melayani pasien di tempat prakteknya satu per satu, memberi obat, memberi edukasi, kemudian, pasien pulang. Atau yang lain, seorang suster ketika jam kerjanya kemudian menyuntikkan obat pada setiap pasien di jam - jam tertentu, memasang infus, membantu segala keperluan pasien, melayani, kemudian pulang. Atau seperti ini, seorang dokter spesialis bahkan yang datang untuk visit pasien - pasiennya, memeriksa, meresepkan pasiennya, kemudian sama, pulang. Lalu ada lagi, seorang prakarya yang mengantarkan makanan untuk pasien, setiap 8 jam, memeriksakan jenis makanan yang akan ia berikan kepada pasien, kemudian menyapa pasien, "Makanannya tadi habis tidak Bu? Bagaimana apakah ada yang kurang enak dengan makanannya?". Kemudian dengan senyuman ia memberikan menu makanan untuk pasien.

Apa yang membedakan menurut kalian? HATI.
Ya, profesi apapun akan menjadi mati, akan menjadi statis dan membosankan jika dikerjakan dengan alasan "ini pekerjaan". Yang penting tanggung jawabku selesai, yang penting pekerjaan ku pada jam kerjaku tuntas. Yang penting semua pasien sudah aku periksa. Atau yang penting daftar pemberian obat pada pasien sudah kukerjakan tepat pada waktunya. Atau yang penting makanan pasien sudah kuberikan.

Di mana lagi letak pasien sebagai subjek? Pasien seperti tak ubahnya benda mati yang kita acuhkan keberadaannya, lebih tepatnya kita acuhkan hatinya. Ya, sebagian kita hanya fokus pada pekerjaan masing - masing. Fokus pada tanggung jawab pekerjaannya masing - masing. Jam dinas misalnya, lebih 00.01 detik saja, jika sudah masuk pada jam kerja orang lain, pasien menjadi pasien rekan kerja kita selanjutnya. Aaah, sebegitukah kita? Atau lain lagi, ada paseien yang bertanya, "maaf dok infus anak saya macet." Jawabnya "Sana bu, ke ruang suster sebelah (dengan ketus)".

Menyedihkan, aku kemudian berkaca bahwa inilah yang seringkali kita temukan, atau bahkan kita juga yang lakukan. Terlepas dari apapun profesinya, apapun letak kontribusinya, di bagian manapun. Menjadi dokter tidak selalu lebih mulia ketimbang menjadi pengantar makanan pasien. Malah bisa menjadi lebih hina, jika tidak ada ketulusan hati di sana. Menjadi profesi apapun tidaklah cukup membanggakan jika kita hanya sebatas menyelesaikan kewajiban kita, tapi mengabaikan perasaan mereka. Namun, profesi apapun akan menjadi mulia jika kita mengerjakannya dengan hati, dengan kesungguhan, dan dengan cinta. Profesi justru akan menambah bekal dunia dan akhirat kita jika kita kerjakan dengan hati.

Alangkah indahnya jika suatu saat kita dapat membangun kerjasama yang baik, mengabdikan diri untuk bekal kita bersama. Sehingga pasien tidaklagi sebagai objek, melainkan subjek yang juga memiliki hati sehingga menjadi indah. Melakoni profesi dengan hati, hasilnya pun sampai ke hati..
Semoga.....