TB, asma, kanker paru – paru, dan pneumonia adalah kasus paru – paru yang umum ditemui di rumah-rumah sakit di Indonesia. Masyarakat awam pun relatif familiar dengan penyakit di atas. Namun sebenarnya ada salah satu penyakit paru yang kejadiannya tidak terlalu sering namun kerap terjadi karena terdapat penyakit paru lain yang mendasarinya, yaitu aspergilosis, penyakit infeksi paru akibat jamur.
Di antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus sp. paling sering menimbulkan infeksi paru. Jamur ini merupakan jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di udara dan di dalam rongga pernapasan manusia yang sehat. Pada saat kekebalan tubuh rendah, pertumbuhan jamur akan merajalela dan Aspergillus mampu menginvasi arteri dan vena, sehingga lokasinya bisa menyebar hingga ke seluruh tubuh.
Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas atau invasi langsung.
Aspergillus flavus
Klasifikasi:
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis : Eurotiomycetes
Sub classis : Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Sejarah
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2). A. Flavus tumbuh pada kisaran suhu 10 – 120C sampai 42 – 430C dengan suhu optimum 320 – 330C dan pH optimum 6.
AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Di Indonesia, aflatoksin sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam.
A. flavus pada kacang tanah
Morfologi
Dalam media Czapek dox agar, koloni berbentuk granular, datar, awalnya berwarna kuning tapi dengan cepat menjadi hijau gelap kekuningan seiring usia. Kepala konidiofor tipe radial, berdiameter hampir 300 – 400 μm. Konidiofor panjang dan kasar, semakin dekat dengan vesikel akan semakin kasar. Konidia berbentuk bulat atau lonjong (berdiameter 3 – 6 μm), hijau pucat dan terlihat berbentuk echinulate. Beberapa strain memproduksi sclerotia.
Siklus hidup
Mycelium dan Sclerotia
Mycelium jamur merupakan struktur yang cukup dominan ditemukan dalam tanah. Sclerotia juga bisa terbentuk yang membuatnya bisa bertahan hidup cukup lama dalam tanah
Konidiofor
Sementara A. flavus masih muda dan bertumbuh, mycelium membentuk banyak konidofor. Konidiofor tumbuh secara tunggal dari badan hifa
Konidiofor dari A. flavus
Konidia
Konidiofor yang matang akan membentuk konidia pada ujungnya. Konidia berbentuk bulat dan unisel dengan dinding yang kasar. Konidia bisa tumbuh, menyebar di udara, menempel pada tubuh serangga, pada tanaman, pada hasil panen.
Mycelia saprofit
A. flavus biasanya tumbuh dan hidup sebagai saprofit di dalam tanah. Pertumbuhannya sangat didukung dengan adanya sisa – sisa tanaman dan hewan dalam jumlah besar.
Penyakit yang ditimbulkan
Aflatoxicosis
Keracunan akibat aflatoksin yang tertelan mengakibatkan kerusakan hati secara langsung yang diikuti kematian
Gejala : Sakit perut
Koma
Muntah
Kanker
Rasa seperti terbakar
Demam
Batuk
Aspergillosis
Ada 2 jenis aspergillosis. Salah satunya allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), kondisi di mana jamur menyebabkan gejala alergi pada sistem pernapasan tapi tidak menginvasi dan menghancurkan jaringan. Jenis aspergillosis yang lain adalah aspergillosis invasif, penyakit yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia. Pada kondisi ini jamur menginvasi ke seluruh tubuh dan merusak jaringan tubuh.
Gejala : Demam
Sakit kepala
Menggigil
Peningkatan produksi lendir hidung
Batuk
Sesak nafas
Penurunan berat badan
Sakit pada bagian dada
Nyeri tulang
Kencing berdarah (Hematuria)
Penurunan pengeluaran urine
Meningitis
Penglihatan berkurang sampai buta
Sinusitis
Radang pada jantung
Aspergilloma
Ini adalah gangguan paru – paru yang paling umum disebabkan oleh A.flavus. Aspergilloma merupakan bola jamur yang berisi mycelia dari A.flavus, yang menyebabkan infeksi sel, fibrin, otot dan jaringan, biasanya menyebabkan lubang pada paru – paru.
Obat yang digunakan
Amphotericin B
Farmakologi
Amfoterisin B merupakan antibiotik polyene yang dihasilkan oleh galur Streptomyces nodosus. Obat ini bisa bertindak sebagai fungistatik maupun fungisidal dengan mengikat sterol (misalnya ergosterol) dalam membran sel yang berujung pada kematian sel. Formulasi yang lebih baru amfoterisin lipid, ternyata sama efektif dengan formulasi lama namun lebih kurang nefrotoksik. Hidrasi yang adekuat bisa mengurangi nefrotoksisitas, dan pasien mentolerir cairan harus diberikan sebelum dan sesudah hidrasi.
Kontraindikasi
Riwayat hipersensitif
Dosis & Cara Pemberian
Amfoterisin : 0,25 mg/kg BB dengan infusi lambat selama 2-6 jam. Dosis maksimal 1,5 mg/kg BB per hari.
Interaksi
*Obat antineoplastik bisa meningkatkan potensi toksisitas ginjal, bronkospasma, dan hipotensi.
*Kortikosteroid, digitalis, dan tiazid berpotensi hipokalemia *Siklosporin, aminoglikosida, cidofovir, pentamidin, tacrolimus, dan vancomisin bisa meningkatkan risiko toksisitas ginjal.
*Antifungi azol mengurangi efikasi amfoterisin *Zidovudin bisa menambah nefrotoksisitas dan mielotoksisitas.
*Amfoterisin bisa meningkatkan toksisitas flutikason *Amfoterisin bisa meningkatkan aktivitas daunorubisin dan doksorubisin.
Itrakonazol, antifungi sintetik triazol, memiliki aktivitas yang lebih besar melawan Aspergillus dibandingkan dengan flukonazol atau ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dengan memperlambat pertumbuhan sel jamur melalui inhibisi cytochrome P-450–dependent synthesis of ergosterol, suatu komponen vital dalam membarn sel jamur. Formulasi per oral (kapsul, suspensi) biasa dgunakan untuk terapi antifungi jangka panjang. Formulasi kini juga telah tersedia. Karena tidak larut dalam air, suspensi per oral dan intravena dilarutkan dengan hydroxypropyl-beta-cyclodextrin.
Kontraindikasi
Hipersensitif, menyusui, gagal ginjal, gagal ventrikular kiri
Dosis & Cara Pemberian
*Kapsul: 200-400 mg/ hari dengan makanan atau cola
*Infeksi yang mengancam jiwa: 200 mg 3 x sehari untuk 3 hari pertama, selanjutnya 200 mg dua kali sehari
*Suspensi oral: 200-400 mg/hari saat perut kosong
*IV: 200 mg dua kali sehari untuk 2 hari, selanjutnya 200 mg/hari
*Anak: dosisnya belum ada, namun direkomendasikan untuk anak 3-16 tahun, 5-10 mg/kg/ hari per oral untuk profilaksis Aspergillus pada anak dengan chronic granulomatous disease (gunakan suspensi per oral)
Peringatan
Hati-hati penggunaan itrakonazol pada insufisiensi hepatik; pasien dengan factor risiko jantung.
Interaksi
Karena menghambat enzim cytochrome P-450 hepatik, maka itrakonazol meningkatkan kadar banyak obat lain; toksisitas jantung serius bisa terjadi saat pemberian bersamaan dengan cisapride, dofetilide, pimozide, atau kuinidin; mempengaruhi metabolisme beberapa obat golongan benzodiazepine sehingga memperpanjang sedasi; pemberian bersamaaan dengan lovastatin atau simvastatin meningkatkan risiko rhabdomyolysis; monitor kadar siklosporin, takrolimus, dan digoksin (itrakonazol meningkatkan kadar dan perlu dilakukan pengaturan dosis); penyerapan itrakonazol per oral perlu suasana lambung asam (penghambat H2 dan PPI sebaiknya tidak diberikan secara bersamaan).
Efek Samping
Sakit kepala, nyeri abdomen, nausea, pusing, dispepsia, ruam, pruritus, rambut rontok, dan edema.
Vorikonazol, digunakan untuk pengobatan primer invasive aspergillosis dan pengobatan penyelamatan dari infeksi spesies Fusarium atau Scedosporium apiospermum. Obat ini merupakan antifungi triazol yang bekerja dengan menghambat cytochrome P-450–mediated 14 alpha-lanosterol demethylation yang sangat esensial dalam biosintesis ergosterol jamur.
Kontraindikasi
Hipersensitif, jangan diberikan dalam bentuk IV dengan CrCl <50 mL/menit (mengurangi eksresi IV); pemberian bersamaan dengan rifampisin, rifabutin, carbamazepin, barbiturat, sirolimus, pimozide, kuinidin, cisapride, atau alkaloid ergot.
Dosis & Cara Pemberian
Pemberian cara infusi dengan kecepatan maksimal 3mg/kg/jam selama 1-2 jam. Terapi inisial dengan loading dose: 6 mg/kg IV tiap 12 jam untuk 2 dosis, diikuti dengan dosis pemeliharaan: 4 mg/kg IV tiap 12 jam. Bila pasien tidak mampu menerima pengobatan, maka dosis pemeliharaan dikurangi hingga 3 mg/kg tiap 12 jam.
Interaksi
Penginduksi CYP-450 (misalnya rifampin) tampak menurunkan kadar steady state peak plasma hingga 93%; meningkatkan kadar serum obat yang dimetabolisme oleh CYP-450 2C19 atau 2C9, yang sebagian diantaranya kontraindikasi ( sirolimus, pimozide, quinidine, cisapride, alkaloid ergot); monitoring yang sering harus dilakukan pada penggunaan bersama dengan siklosporin, tacrolimus, warfarin, inhibitor HMG CoA, benzodiazepin, penghambat kanal kalsium.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet
Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang
Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.
Fraktur Kompresi / Crush fracture : umumnya pada tulang kanselus
Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan trauma.
Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.
Diagnosis
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
B. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi )
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
C. Gerakan / Moving
D. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.
III. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :
Alignman : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening0
Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
2. Komplikasi Lokal a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
Pada Tulang
Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi
Pada Jaringan lunak
Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik
Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).
b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi
Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
Tujuan Pengobatan fraktur : 1. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi
1. Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur hunerus
2. Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
3. Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris)
3. UNION
4. REHABILITASI Penyembuhan fraktur ada 5 Stadium :
Pembentukan Hematom : kerusakan jaringan lunak dan penimbunan darah
Organisasi Hematom / Inflamasi. Dalam beberapa jam post fraktur terbentuk fibroblast ke hematom dalam beberapa hari terbentuk kapiler kemudian terjadi jaringan granulasi
Pembentukan kallus. Fibroblast pada jaringan granulasi menjadi kolagenoblast kondroblast kemudian dengan partisipasi osteoblast sehat terbentuk kallus (Woven bone)
Konsolidasi : woven bone berubah menjadi lamellar bone
Remodelling : Kalus berlebihan menjadi tulang normal
Prinsip terjadinya UNION :
a. Dewasa : Kortikal 3 bulan, Kanselus 6 minggu
b. Anak-anak : separuh dari orang dewasa
Proses Penyembuhan Tulang
Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material nekrotik disingkirkan.
Fase reparatif
Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak membah menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.
Fase remodelling
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).