Stase Kulit DAN Kelamin

Pagi itu seperti biasa aku dan 9 rekanku lainnya sudah siap di aula poliklinik Kulit dan Kelamin RSAM menunggu panggilan poli dimulai. Senang rasanya bisa bergabung bersama mereka, 9 orang yang punya keunikan masing - masing. Harapan kami bisa melengkapi satu sama lain, hehe lebay. Ya, begitulah kami mengawali kegiatan kepaniteraan kami di stase minor ini. Sebagian ada yang sibuk dengan gadgetnya, sebagian ada yang ngobrol, dan sebagian lagi ada yang mengaji. Ya, ada kebiasaan baru dari sebagian anggota kelompok kecil kami, mengaji karena merupakan komunitas ODOJ (One Day One Juz), do you? hehe. ya, yang jelas aku merasa nyaman ada di sini bersama kalian.

Kurang lebih pukul 09.00 poli dimuliai. Kami berjejer rapi di belakang kursi dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK, FINS DV., lihat beliau anamnesis dan periksa pasien, lihat lesi di kulit pasien, coba menebak apa diagnosanya, sambil catat - catat yang perlu. Ahaa, ada lagi, intip resep yang dokter tuliskan. Bervariasi, mulai dari merk obat - obat generik terbaik se-ASKES maupun obat terbaik yang ada di BPJS. Antusias deh pokoknya..

Pasien pertama selesai, kontrol ulkus (luka bonyok orang biasa bilang). Kemudian, pasien kedua..
Ah, mereka datang berpasangan. Awalnya istri nya duluan yang masuk, setelah ia memastikan kepada perawat bahwa suaminya boleh turut serta ke dalam ruang poli, akhirnya sang suami pun menyusul ke dalam. Anak sang ibu kira - kira berusia 3 tahun tetap berada di luar, ntah bersama siapa, ada saudara lain yang menunggu di luar mungkin. Membatin, ya, ini kami selalu membatin, hehe. Untuk menebak - nebak secara kasat mata kira - kira apa diagnosa pasien ini.

Wajah sang istri datar, sementara wajah sang suami cemas. Dokter kemudian menanyakan,
"Apa keluhannya, Bu?"
"Saya ga mengeluhkan apa - apa, Dok"
Kami hening, kemudian sang suami segera menyambung pembicaraan,
 "Begini Dok, maaf sebelumnya ya dok. Saya ini sering bekerja di luar kota. Bulan 9 yang lalu saya kerja di luar kota dok. Nah, saya akhirnya kena sakit di kemaluan saya dok. Nanahan.."
Emm..dokter kemudian mengerti arah pembicaraannya, beliau kemudian bertanya kepada sang bapak,
"Berapa kali, Pak?"
"1 kali dok, tapi terus sembuh dok, nah, bulan 10 kambuh lagi..nah, dok, terus sekarang ini kemaluan saya itu ada benjolan kecil dok kayak jerawat di (maaf) batang kemaluannya, itu apa ya Dok?"
Aah, aneh rasanya kalau sudah sembuh terus kambuh lagi tanpa penyebab..Kulihat wajah si ibu yang datar, menahan perih.. -_-
"Kalau Ibu, apa yang dikeluhkan sekarang? Apa ibu ada keputihan, atau nyeri kalau buang air kecil?"
"Saya ga ada keluhan apa-apa Dok, ga keputihan juga. Saya cuma mau periksa aja Dok apa saya ketularan suami saya atau ngga Dok?"
"Oke Pak, kalau begitu saya lihat benjolannya ya Pak..."
Bapak itu kemudian bertukar kursi dengan istrinya agar lebih dekat dengan Dokter. Tapi Bapak tersebut agak kikuk dan urung membuka celananya. Malu nampaknya pada kami koas-koas yang dengan wajah datar menahan geram terhadap bapak. Kak Roi (perawat poliklinik kulit dan kelamin) kemudian segera pergi meninggalkan kami semua koas dan dokter yang memang ramai saat itu, menjauh, dan berkata,
"Bapak silahkan dibuka celananya, saya akan pergi. Di situ sudah dokter semua kok Pak, saya yang perawat. Bapak ga usah malu, itu dokter semua Pak." 
Cukup beberapa detik Bapak itu tidak juga bergerak. Kami koas yang wanita pun juga sama, tidak bergerak, menunggu. hehe. (Koas dengan rasa ingin tahu tinggi). Akhirnya dokter mengerti bahwa Bapak ini tidak nyaman jika menunjukkan penyakitnya kepada kami (yang wanita). Oke, baiklah, kami yang wanita pun akhirnya pindah ke ruang periksa di sebelah, yang hanya dipisahkan dengan gorden biru saja, membagi 2 ruangan ini menjadi ruang anamnesis dan bed tempat periksa pasien. Di balik gorden itu, ada kami koas wanita, kak Roi, dan sang Istri. Di sebelah nya, bersama dokter spesialis dan sang bapak, tinggallah seorang rekanku yang laki - laki ikut memeriksa kemaluan sang bapak.

Sambil menunggu dokter memeriksa bapak itu, salah satu teman koas ku yang wanita kemudian bertanya kepada istrinya,
"Ibu, beneran ga ada ada keputihan?"
"Ga ada dok, ia dok, suami saya itu berhubungan sama orang lain katanya sama mantannya. Penyakitnya ini sebenarnya bisa menular ga ya Dok?"
"Nanti kita periksa lebih lanjut ya Bu, ibu yang sabar ya"
Tidak sampai 5 menit, dokter pun kemudian mempersilakan kami untuk masuk ke ruang anamnesis. Sang bapak sambil membenarkan jeansnya,
"Jadi gimana Dok, benjolannya ini? Apa ya Dok?"
"Begini Pak, jadi ini sepertinya perlu pemeriksaan lebih lanjut. Nanti Bapak dan Ibu semuanya diperiksa. Diambil cairan yang keluar dari kemaluannya, dilihat di mikroskop. Mau dilihat ada infeksi apa."
Pasangan tersebut akhirnya menyetujui, kemudian dokter berpesan,
"Kamu koas yang laki - laki (sambil menunjuk salah satu rekanku), temani Bapak ini periksa di laboratorium ya, ambil sekret dari penisnya, sambil di-massage"
"Baik Dok, mari Pak (sambil mengajak bapak dan ibu ke ruang lab)"
hemmm.. Kami cuma bisa bergumam dalam hati, betapa kuatnya hati ibu ini menemani suaminya berobat, dan saat ini ia pun harus diperiksa juga apakah tertular atau tidak, sementara ada hati yang juga sudah terlanjur disakiti.. -__-

Di ruang laboratorium poliklinik kulit dan kelamin ada seorang perawat muda, juga ada koas yang bertugas, 3 orang. Yang pria menemani bapak mengambil sekret dari penisnya. Sementara yang wanita melakukan swab dari vagina ibu. Dilakukan pengecatan Gram untuk memudahan identifikasi bakteri dalam sediaan.

Dan ternyata benar,

Sumber : Foto Pribadi

Dari pewarnaan Gram ditemukan keduanya (+) ditemukan bakteri diplococcus Gram (-) dan (+) ditemukan leukosit. 
Sumber : Foto Pribadi

Diagnosanya menjadi uretritis gonorrhoe
Penyakit ini merupakan salah satu dari infeksi menular seksual (IMS) yang umum terjadi di masyarakat. Memang bisa diobati dengan pengobatan yang adekuat. Jelas, penyakit ini tentu dapat pula dicegah. 

Terima kasih atas pelajarannya bapak dan ibu. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah,
Pesannya adalah :
Setialah kepada pasangan anda. Ketika anda sudah berkomitmen, ingatlah akan hak dan kewajiban yang sudah ditanggung bersama. Yang jelas bahwa ingatlah ada hari akhir, di mana kelak setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.


"Barangsiapa mengerjakan kebaikan walau sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan walau sebesar zarah pun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya pula.”
(Az-Zalzalah ayat 7-8)

Anak-Anak Ini Guru Kami..(lanjutan)

Seperti biasa, cerita ini terus berlanjut. Takdir Allah terus berjalan atas umat-Nya.
Malam itu, Jumat 29 November 2013 aku mengirimkan sebuah sms kepada seorang pasien Thallasemia, Pipit. Menanyakan kabar beliau yang baru saja selesai transfusi kemarin. Mengejutkan ketika mendapati balasan dari beliau, bahwa Rei sedang dirawat di ruang alamanda dalam keadaan kritis.

Entah aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat itu, hanya bisa berdoa dalam hati agar Rei diberikan kekuatan untuk hadapi penyakitnya. Malam itu, bergegas aku ke rumah sakit dan menemui Rei beserta keluarga. Haru itu tak bisa aku tahan, di hadapan ibunya aku coba menguatkan. Bagaimana tidak, aku sedang berhadapan dengan ibu yang tangguh, yang memiliki 2 orang anak dengan penyakit yang sama. Ibu dihadapanku bukan ibu biasa, ibu yang punya kebesaran hati luar biasa. Kesabarannya menjadikan suasana malam itu berbeda, di depan Rei aku coba menguatkannya untuk bersabar atas ujian yang ada.

Di sampingnya, aku hanya bisa terdiam, mendengar doa pengharapan ibundanya agar anaknya diberi kekuatan..

Aku teringat ketika pertama kali bertemu dengan Rei, :') Seorang adik yang lucu, punya cita - cita jadi seorang koki, punya resep pribadi urak - arik telur spesial. Punya selera humor yang tinggi, hingga ahli melakoni goyang caesar. Sudah putus sekolah, namun punya kecerdasan yang tidak biasa. Punya kegemaran membaca, hingga semua buku di rak thallasemia sudah habis ia lahap. Punya pengetahuan luas tentang teknologi dan yang jelas punya semangat yang tinggi untuk berjuang menghadapi penyakitnya.


Dari kiri : Rei, Egi, Tamara, Pipit

Malam itu dari balik bilik ruang observasi Alamanda, aku hanya bisa berdoa agar Allah beri ketetapan terbaik kepada mu Dik. Dari bilik kaca transparan pula, Allah tunjukkan bahwa semua keluarga sayang kepadamu Dik. Allah satukan kembali keluarga kalian,  semua menyayangimu. Semua menyayangimu dengan caranya masing - masing. Kuatlah sayang..

Keesokan harinya, Sabtu, 30 November 2013 sekitar pukul 07.30, Allah mengambil hak-Nya. Rei kembali kepada Sang Kholik. Ya Rei, terima kasih atas pelajaran berharga yang sudah Rei berikan. Terima kasih atas makna bersyukur yang sudah Rei tinggalkan, yakni bukan berapa lama kita hidup di dunia, melainkan apa yang mampu kita perbuat untuk orang-orang di sekeliling kita. 

Sekali lagi, terima kasih adik - adik atas ilmu yang kalian beri. 
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata, "Aku pernah bersama Rasullullah Sallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu seorang Anshor mendatangi Beliau, ia memberi salam dan bertanya, "Wahai Rasullullah, mukmin manakah yang paling baik?" Beliau bersabda, "Yang paling baik akhlaknya." "Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?", ia kembali bertanya. Beliau bersabda, "Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas." (HR Ibnu Majah 4259) 

Melakoni Profesi dengan Hati

Sudah hampir 2 minggu aku dan teman - teman menjalani kepaniteraan klinik bagian anak di RSAY Metro. Stase surga, katanya. Haha.. Benar saja, stase ini memang menyenangkan. Ya, setidaknya bisa "menghela napas" ketika menjalani kepaniteraan di bagian ini dan di kota ini. :D

Kali ini sekitar pukul 09.00 aku dan sahabatku, sebut saja jahe (ginger *hehe) bertugas di poliklinik anak. Belum banyak pasien yang datang ke poli. Sebagian mungkin sedang mengurus adminstrasi jaminan kesehatannya dengan antrian yang tidak sedikit, atau mungkin sebagian lagi sedang mengurus pembayaran dan mencari rekam medis lamanya.

Hari ini aku dan rekanku mengobrol santai, membahas masalah isu kesehatan yang sedang hangat diperbincangkan oleh khalayak. Ya, kriminalisasi dokter.


Ya, miris memang jika kita memikirkan kondisi yang terjadi saat ini. Akan panjang paragraf ini jika kita menuliskan keluh kesah. Akan lelah hati ini jika kita menuliskan rasa kecewa kita terhadap pemangku kuasa. Akan banyak pula ungkapan kesedihan jika kita terus meratapi nasib profesi ini ke depannya jika tetap dalam kondisi saat ini.

Ah, lelah! Kenapa tak kita ubah sudut pandangnya. Kali ini kami tertarik untuk membahasnya dari ruang lingkup yang lebih kecil. Dari ruang lingkup aku, bukan dia! Ya, aku saat ini sedang menjalani pendidikan profesi. Aku merasakan bahwa ada "kejanggalan" di sini, dalam hatiku. Aku merasakan kehampaan selama ini. Ya, hati..

Aku merasa bahwa profesi ini mengajarkan banyak hal terutama masalah hati. Begini ilustrasinya, aku membayangkan diriku dengan aktivitas kepaniteraanku sehari - hari. Bekerja bersama - sama dengan perawat, dokter, dokter spesialis, prakarya, tukang parkir, cleaning service, penjaga keamanan, dan pasien. Setiap hari, selalu begitu kurang lebih.

Ada rasa yang berbeda setiap harinya. Ada gembira, ada kesal, ada marah, ada sedih, ada tertawa, ada juga yang mengharukan. Ya, begitu terus setiap harinya, silih berganti rasa. Ini menarik menurutku, rasa yang berbeda itu muncul akibat interaksi dengan orang - orang tersebut.

Sebagian orang mungkin paham, bahwa untuk bekerja di bidang kesehatan, team work amatlah penting. Pasien datang ke sebuah rumah sakit. Pertama-tama ia akan mendaftarkan dirinya ke administrasi, bertemulah ia dengan seorang yang duduk di meja komputer untuk melayani pendaftaran. Kemudian dengan membawa lembar rekam medisnya, pasien menuju ke ruang periksa. Di ruang periksa disambut terlebih dahulu oleh perawat untuk kemudian disiapkan keperluannya sebelum bertemu dengan dokter. Setelah siap, dokterpun kemudian memeriksa pasien. Dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu oleh dokter muda (koas). Jika diperlukan, pada pasien akan dilakukan pemeriksaan penunjang seperti cek laboratorium darah, urin, maupun radiologi (misal rontgen atau USG). Ya, di sana mereka akan bertemu petugas laboratorium di ruang periksa. Setelah dipastikan diagnosanya, pasien diberi resep oleh dokter. Kemudian pasien akan mengambil resep tersebut ke apotek. Di apotek, pasien akan bertemu dengan seorang yang pandai farmasi. Kemudian pasien pergi ke kasir untuk melakukan pembayaran. Inilah, siklus besar yang setiap harinya dialami oleh sebagian besar pasien.

Belum lagi jika pasien diputuskan dokter untuk menjalani rawat inap, maka pasien akan berhadapan dengan pengantar makanannya pagi, siang, dan malam. Petugas kebersihan yang senantiasa membersihkan ruang kamar rawat inapnya setidaknya 2 kali dalam sehari. Kemudian akan bertemu dengan perawat yang akan memberikan pelayanan kepada pasien, seperti menyuntikkan obat melalui pembuluh darah, membantu keperluan pasien seperti BAK dan memandikan pasien, atau mengganti botol infus jika infus habis.

Itulah sepenggal kegiatan yang aku temukan.
Bagi sebagian orang, mungkin menjadi petugas kesahatan adalah pekerjaan yang mulia. Ingat ketika kecil, ketika kita ditanya, " Mau jadi apa nak kalau sudah besar?". Tidak sedikit yang menjawab ingin jadi dokter. Pun dengan ku, yang kubayangkan saat itu adalah menjadi dokter itu keren, bisa bantu orang sakit jadi sembuh titik.

Apa yang kemudian saat ini aku rasakan? Ternyata tidak sepenuhnya demikian. Kemuliaannya bukan terletak pada apa profesinya, tapi pada hati.

Coba pikirkan, seorang dokter saja misalnya yang bekerja melayani pasien di tempat prakteknya satu per satu, memberi obat, memberi edukasi, kemudian, pasien pulang. Atau yang lain, seorang suster ketika jam kerjanya kemudian menyuntikkan obat pada setiap pasien di jam - jam tertentu, memasang infus, membantu segala keperluan pasien, melayani, kemudian pulang. Atau seperti ini, seorang dokter spesialis bahkan yang datang untuk visit pasien - pasiennya, memeriksa, meresepkan pasiennya, kemudian sama, pulang. Lalu ada lagi, seorang prakarya yang mengantarkan makanan untuk pasien, setiap 8 jam, memeriksakan jenis makanan yang akan ia berikan kepada pasien, kemudian menyapa pasien, "Makanannya tadi habis tidak Bu? Bagaimana apakah ada yang kurang enak dengan makanannya?". Kemudian dengan senyuman ia memberikan menu makanan untuk pasien.

Apa yang membedakan menurut kalian? HATI.
Ya, profesi apapun akan menjadi mati, akan menjadi statis dan membosankan jika dikerjakan dengan alasan "ini pekerjaan". Yang penting tanggung jawabku selesai, yang penting pekerjaan ku pada jam kerjaku tuntas. Yang penting semua pasien sudah aku periksa. Atau yang penting daftar pemberian obat pada pasien sudah kukerjakan tepat pada waktunya. Atau yang penting makanan pasien sudah kuberikan.

Di mana lagi letak pasien sebagai subjek? Pasien seperti tak ubahnya benda mati yang kita acuhkan keberadaannya, lebih tepatnya kita acuhkan hatinya. Ya, sebagian kita hanya fokus pada pekerjaan masing - masing. Fokus pada tanggung jawab pekerjaannya masing - masing. Jam dinas misalnya, lebih 00.01 detik saja, jika sudah masuk pada jam kerja orang lain, pasien menjadi pasien rekan kerja kita selanjutnya. Aaah, sebegitukah kita? Atau lain lagi, ada paseien yang bertanya, "maaf dok infus anak saya macet." Jawabnya "Sana bu, ke ruang suster sebelah (dengan ketus)".

Menyedihkan, aku kemudian berkaca bahwa inilah yang seringkali kita temukan, atau bahkan kita juga yang lakukan. Terlepas dari apapun profesinya, apapun letak kontribusinya, di bagian manapun. Menjadi dokter tidak selalu lebih mulia ketimbang menjadi pengantar makanan pasien. Malah bisa menjadi lebih hina, jika tidak ada ketulusan hati di sana. Menjadi profesi apapun tidaklah cukup membanggakan jika kita hanya sebatas menyelesaikan kewajiban kita, tapi mengabaikan perasaan mereka. Namun, profesi apapun akan menjadi mulia jika kita mengerjakannya dengan hati, dengan kesungguhan, dan dengan cinta. Profesi justru akan menambah bekal dunia dan akhirat kita jika kita kerjakan dengan hati.

Alangkah indahnya jika suatu saat kita dapat membangun kerjasama yang baik, mengabdikan diri untuk bekal kita bersama. Sehingga pasien tidaklagi sebagai objek, melainkan subjek yang juga memiliki hati sehingga menjadi indah. Melakoni profesi dengan hati, hasilnya pun sampai ke hati..
Semoga.....