Sepenggal Dialog #1

Sudah 39 hari berada di tempat pendidikan ini, RSAM. Seiring waktu aku mencoba menikmati prosesnya, dan bersamaan dengan itu pula banyak sekali pelajaran hidup yang coba aku pahami.. Hakikatnya, adalah sadar bahwa setiap proses yang aku lewati, pasti atas izin-Nya. Jadi tidak ada alasan untuk berkeluh kesah. Sebaliknya, nikmati saja prosesnya, karena dari sinilah kita belajar banyak hal, dari situ juga kita menjadi paham bahwa banyak sekali hal pula yang belum kita pelajari, dan mereka tidak menunggu kita. Tapi kita yang mengejar ilmu, mengejar makna yang mereka beri, atas izin-Nya kembali.

Poto ini sederhana, namun memberi makna bagiku. Bukan sekedar ilmu kedokteran, bersama dokter spesialis bedah saraf yang juga memberikan pelajaran, tetapi dari seorang anak berusia kurang dari 11 tahun, berupa makna hidup yang tidak terbayar oleh apapun.

Adik "A" namanya, sudah menderita tumor otak dengan hidrosephalus sejak berberapa tahun terakhir. Penyakit yang bagi sebagian besar orang sangatlah ditakuti, namun tidak bagi adik ini. Semangatnya untuk segera sembuh patut diapresiasi. Betapa tidak, adik ini rupanya amat cerdas dan berhati mulya. Ya, kita tidak akan pernah menyangka sebelum benar - benar berinteraksi dengannya.

Siang itu tidak seperti biasanya, seorang adik laki - laki kecil berhasil merebut perhatian kami. Cerewet bisa dibilang, tapi lebih dari itu, ia cerdas! Ya, adik itu aktif bercerita kepada kami.

Ntah, aku tiba - tiba saja ingat adikku, ingat orang tuaku, membayangkan juga jika ia adalah keluargaku. Terenyuh..! Adik ini begitu pintar, bukan tentang ilmu pengetahuan, tapi pintar memaknai sakitnya. Pintar memanage hatinya, bahwa ia tidak boleh membebani keluarganya, memaknai bahwa sakit ini adalah ujian bagi-Nya, bahwa Allah sayang padanya.

Kecintaannya pada keluarga juga begitu nampak. Pun rasa sayangnya pada dokter Suyaman, Sp. BS (dr. Sule) yang merawatnya.. :') Ahhhh, menetes air mata ini ketika dokter Sule datang dan selesai melakukan pungsi ascites pada adik ini.
Adik A : Dokter, A*** boleh salim tangan dokter?
Dokter Sule : Ia boleh..
Adik A : (Kemudian mencium tangan dokter). Dok, A*** pesen ya buat dokter, dokter Sule kalo operasi hati - hati ya dokter..
-------------------------------------------------(Terharu)-----------------------------------------------------------
Dokter Sule : Ya, terima kasih ya sayang.
Adik A : Ia dokter.
Ibu Adik A : Dok, sampai kapan anak saya akan dipungsi perutnya dok?
Dokter Sule : Ia bu, saya juga tidak bisa memastikan ibu sampai kapan, tapi kita akan terus berusaha. Ibu Adik A : Terima kasih dokter..

Ntahlah, sekelumit dialog yang acapkali terjadi. Rasa terharu yang sering aku rasakan. Terselip rasa haru jika paien yang ditangani mampu sembuh melalui perantara kita, dokter. Tentu, atas izin-Nya. Kemampuan kami sebagai seorang dokter terbatas, kesembuhan pasien bukan di tangan kami. Kesembuhan pasien Allah yang memberikan, kami hanyalah perantara-Nya. Tapi bukan berarti kami berpangku tangan, menunggu takdir mengambil keputusan. Ini justru semakin membuat kami sadar bahwa kami harus terus belajar, terus belajar, melalui guru - guru terbaik kami, konsulen dan yang tidak kalah berjasa adalah pasien.

Di Pojok Sana

Saat sebagian terlelap,
Masih..masih ada hiruk pikuk di sana.. 
Di pojok sana..di sudut yang mungkin sebagian orang acuh akan keberadaannya..
Tempat berkumpulnya orang -orang  yang sedang Allah uji dengan "kesakitan"..

Aku..
Aku hanyalah bagian kecil dari mereka..
Sekelumit jiwa yang berkecimpung di sana..
Mengabdikan diri di tempat itu..
Menuntut  ilmu melalui mereka..
Mereka menjadi guru, dengan keterbatasan kondisi fisik mereka..
Namun, apakah sebaliknya?
Apakah hadir kita mampu membantu mereka??
Semoga..

Malam itu, 
Detik waktu menjadi amat berat..
Detapnya semakin membuat gugup kala itu..
Bercak darah yang biasa ada di pojok sana, menjadi warna yang tak biasa..
tap..tap..
...............................................................................................
walau berat, harus kuberi penguatan pada keluarga mereka..
sembari ikhtiar yang terus mengiringi..dan doa yang membasahi bibir..

Ya, benar,
Apa yang dikhawatirkan benar adanya..
Isak tangis keluarga segera memenuhi ruang..
Sesak dada ini, tururt pula dengan sekelumit pikiran yang menghantui..
Apa yang bisa aku perbuat saat ini? Belumlah apa - apa..
Apa yang bisa kita bantu untuk mereka?

Sadarlah, masih ada waktu..
Sigaplah, teruslah belajar berpacu dengan waktu..
Mereka tak menunggumu untuk belajar,
Ya, pasienmu tidak pernah menungguku untuk belajar..
Karena dengan ataupun tanpaku, mereka sama saja.
Tapi aku?? Akulah yang seharusnya berpikir, apa gunaku? 
Apa manfaatku bagi sesama? Apa yang dapat aku beri untuk mereka?

Ya Rabbi, 
Perkenankanlah aku untuk memperoleh ilmu-Mu yang ku tahu amatlah luas..
Perkenankanlah aku untuk mampu memberi manfaat..hingga akhir hayatku..
Sehingga kelak dapat kupertanggungjawabkan diriku dihadapan-Mu..
Karena sungguh, melalui profesi ini aku ingin mnggapai ridho-Mu..
Perkenankan Ya Rabbi.


Bandar Lampung, 8 Maret 2013, 0:28

Cukup Aku Dimengerti


Ya, jangan aku kau kasihani, cukup aku dimengerti..

Cukup mewakili apa yang semestinya kita lakukan pada anak - anak ini. Anak - anak yang Allah ciptakan dengan sebaik mungkin, dengan secuil kekurangan bagi sebagian orang, namun sebetulnya adalah anugerah yang Allah titipkan pada tidak sembarang orang. Ya, Allah titipkan mereka pada orang tua - orang tua yang luar biasa, yang sebetulnya Allah siapkan mereka untuk "naik kelas".

Perlahan kususuri perjalanan menuju sekolah itu. Sekolah di mana Alif, anak ibu kosku menuntut ilmu. Pagi sekali kami menuju ke sana, dan harapanku agar aku beroleh ilmu, hari itu. Ya, aku rindu belajar pada mereka, belajar pada anak - anak dan lingkunganku.

Di luar dugaanku, ternyata sekolah itu bukan sekolah biasa. Sekolah ini menyimpan ketenangan, kedamaian, yang amat mampu aku rasakan. Hamparan halaman dan bangunan sekolah yang tidaklah sempit, letaknya yang jauh dari hiruk pikuk lalu lintas, udara yang teramat sejuk serta pepohonan yang rindang membuat setiap mata kian terlena akan keagungan Sang Kuasa.


Kekagumanku pada pemilik yayasan swasta ini kian membesar, tatkala aku menyusuri semakin ke dalam bangunan ini beserta penghuninya. Plak! Seperti tertampar rasanya ketika aku mulai berinteraksi dengan mereka...

Ya, bukan karena keadaan mereka, tapi aku benar - benar tersentak kala menyadari syukurku belumlah cukup. Ikhtiarku belum maksimal. Lihatlah mereka, mereka dengan segala keterbatasannya, tapi tetap bersemangat, tetap optimis dalam menjalani hidup. Mereka tetaplah anak - anak yang menjadi harapan orang tua agar mampu menjadi anak - anak yang cerdas, sholeh dan sholeha, yang pasti bermanfaat untuk ummat.

Tak ada sepatah kata terlebih bait melodi yang mampu mereka dengar, tapi ada indra lain yang Allah lebihkan pada mereka. Mata, serta mata hati mereka amatlah tajam. Aku yang pada awalnya merasakan bahwa tidaklah mudah berkomunikasi dengan mereka, perlahan mulai memahami bahwa ada hati yang harus kugunakan ketika berinteraksi dengan mereka. Ada hati yang harus dilibatkan untuk memahami satu sama lain. Ada hati yang mampu merasakan lebih dari segalanya tentang ketulusan. Ya, aku belajar banyak dari mereka, anak - anak tuna wicara - tuna rungu.

isyarat SIBI





Benar bahwa "keterbatasan cukup untuk disadari, tapi tidak untuk membatasi mimpi - mimpi kita"

Cukup dik, cukupkan kesedihanmu. Yakinlah, bahwa Allah beri ujian ini sesuai dengan kemampuan kita. Kalian orang yang hebat! Biarkan orang lain mengetahui kekurangan kita, biarkan saja dik. Kakak yakin meskipun tak ada bantahan yang mampu kalian buat, tak ada olokan yang mampu kalian balas, tapi ada karya besar yang sungguh mampu kalian ciptakan, dengan kesungguhan!

Terima kasih dik, pelajaran berharga telah kalian berikan kepada kami semua. Kami semua yang mungkin tidak lebih baik dari kalian, tapi kita sama - sama bertekad untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama..InsyaAllah. :)



Bandar Lampung,  25 Februari 2013  0:43 am