Anak-Anak Ini Guru Kami..(lanjutan)

Seperti biasa, cerita ini terus berlanjut. Takdir Allah terus berjalan atas umat-Nya.
Malam itu, Jumat 29 November 2013 aku mengirimkan sebuah sms kepada seorang pasien Thallasemia, Pipit. Menanyakan kabar beliau yang baru saja selesai transfusi kemarin. Mengejutkan ketika mendapati balasan dari beliau, bahwa Rei sedang dirawat di ruang alamanda dalam keadaan kritis.

Entah aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat itu, hanya bisa berdoa dalam hati agar Rei diberikan kekuatan untuk hadapi penyakitnya. Malam itu, bergegas aku ke rumah sakit dan menemui Rei beserta keluarga. Haru itu tak bisa aku tahan, di hadapan ibunya aku coba menguatkan. Bagaimana tidak, aku sedang berhadapan dengan ibu yang tangguh, yang memiliki 2 orang anak dengan penyakit yang sama. Ibu dihadapanku bukan ibu biasa, ibu yang punya kebesaran hati luar biasa. Kesabarannya menjadikan suasana malam itu berbeda, di depan Rei aku coba menguatkannya untuk bersabar atas ujian yang ada.

Di sampingnya, aku hanya bisa terdiam, mendengar doa pengharapan ibundanya agar anaknya diberi kekuatan..

Aku teringat ketika pertama kali bertemu dengan Rei, :') Seorang adik yang lucu, punya cita - cita jadi seorang koki, punya resep pribadi urak - arik telur spesial. Punya selera humor yang tinggi, hingga ahli melakoni goyang caesar. Sudah putus sekolah, namun punya kecerdasan yang tidak biasa. Punya kegemaran membaca, hingga semua buku di rak thallasemia sudah habis ia lahap. Punya pengetahuan luas tentang teknologi dan yang jelas punya semangat yang tinggi untuk berjuang menghadapi penyakitnya.


Dari kiri : Rei, Egi, Tamara, Pipit

Malam itu dari balik bilik ruang observasi Alamanda, aku hanya bisa berdoa agar Allah beri ketetapan terbaik kepada mu Dik. Dari bilik kaca transparan pula, Allah tunjukkan bahwa semua keluarga sayang kepadamu Dik. Allah satukan kembali keluarga kalian,  semua menyayangimu. Semua menyayangimu dengan caranya masing - masing. Kuatlah sayang..

Keesokan harinya, Sabtu, 30 November 2013 sekitar pukul 07.30, Allah mengambil hak-Nya. Rei kembali kepada Sang Kholik. Ya Rei, terima kasih atas pelajaran berharga yang sudah Rei berikan. Terima kasih atas makna bersyukur yang sudah Rei tinggalkan, yakni bukan berapa lama kita hidup di dunia, melainkan apa yang mampu kita perbuat untuk orang-orang di sekeliling kita. 

Sekali lagi, terima kasih adik - adik atas ilmu yang kalian beri. 
Dari Ibnu 'Umar, ia berkata, "Aku pernah bersama Rasullullah Sallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu seorang Anshor mendatangi Beliau, ia memberi salam dan bertanya, "Wahai Rasullullah, mukmin manakah yang paling baik?" Beliau bersabda, "Yang paling baik akhlaknya." "Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?", ia kembali bertanya. Beliau bersabda, "Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas." (HR Ibnu Majah 4259) 

Melakoni Profesi dengan Hati

Sudah hampir 2 minggu aku dan teman - teman menjalani kepaniteraan klinik bagian anak di RSAY Metro. Stase surga, katanya. Haha.. Benar saja, stase ini memang menyenangkan. Ya, setidaknya bisa "menghela napas" ketika menjalani kepaniteraan di bagian ini dan di kota ini. :D

Kali ini sekitar pukul 09.00 aku dan sahabatku, sebut saja jahe (ginger *hehe) bertugas di poliklinik anak. Belum banyak pasien yang datang ke poli. Sebagian mungkin sedang mengurus adminstrasi jaminan kesehatannya dengan antrian yang tidak sedikit, atau mungkin sebagian lagi sedang mengurus pembayaran dan mencari rekam medis lamanya.

Hari ini aku dan rekanku mengobrol santai, membahas masalah isu kesehatan yang sedang hangat diperbincangkan oleh khalayak. Ya, kriminalisasi dokter.


Ya, miris memang jika kita memikirkan kondisi yang terjadi saat ini. Akan panjang paragraf ini jika kita menuliskan keluh kesah. Akan lelah hati ini jika kita menuliskan rasa kecewa kita terhadap pemangku kuasa. Akan banyak pula ungkapan kesedihan jika kita terus meratapi nasib profesi ini ke depannya jika tetap dalam kondisi saat ini.

Ah, lelah! Kenapa tak kita ubah sudut pandangnya. Kali ini kami tertarik untuk membahasnya dari ruang lingkup yang lebih kecil. Dari ruang lingkup aku, bukan dia! Ya, aku saat ini sedang menjalani pendidikan profesi. Aku merasakan bahwa ada "kejanggalan" di sini, dalam hatiku. Aku merasakan kehampaan selama ini. Ya, hati..

Aku merasa bahwa profesi ini mengajarkan banyak hal terutama masalah hati. Begini ilustrasinya, aku membayangkan diriku dengan aktivitas kepaniteraanku sehari - hari. Bekerja bersama - sama dengan perawat, dokter, dokter spesialis, prakarya, tukang parkir, cleaning service, penjaga keamanan, dan pasien. Setiap hari, selalu begitu kurang lebih.

Ada rasa yang berbeda setiap harinya. Ada gembira, ada kesal, ada marah, ada sedih, ada tertawa, ada juga yang mengharukan. Ya, begitu terus setiap harinya, silih berganti rasa. Ini menarik menurutku, rasa yang berbeda itu muncul akibat interaksi dengan orang - orang tersebut.

Sebagian orang mungkin paham, bahwa untuk bekerja di bidang kesehatan, team work amatlah penting. Pasien datang ke sebuah rumah sakit. Pertama-tama ia akan mendaftarkan dirinya ke administrasi, bertemulah ia dengan seorang yang duduk di meja komputer untuk melayani pendaftaran. Kemudian dengan membawa lembar rekam medisnya, pasien menuju ke ruang periksa. Di ruang periksa disambut terlebih dahulu oleh perawat untuk kemudian disiapkan keperluannya sebelum bertemu dengan dokter. Setelah siap, dokterpun kemudian memeriksa pasien. Dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu oleh dokter muda (koas). Jika diperlukan, pada pasien akan dilakukan pemeriksaan penunjang seperti cek laboratorium darah, urin, maupun radiologi (misal rontgen atau USG). Ya, di sana mereka akan bertemu petugas laboratorium di ruang periksa. Setelah dipastikan diagnosanya, pasien diberi resep oleh dokter. Kemudian pasien akan mengambil resep tersebut ke apotek. Di apotek, pasien akan bertemu dengan seorang yang pandai farmasi. Kemudian pasien pergi ke kasir untuk melakukan pembayaran. Inilah, siklus besar yang setiap harinya dialami oleh sebagian besar pasien.

Belum lagi jika pasien diputuskan dokter untuk menjalani rawat inap, maka pasien akan berhadapan dengan pengantar makanannya pagi, siang, dan malam. Petugas kebersihan yang senantiasa membersihkan ruang kamar rawat inapnya setidaknya 2 kali dalam sehari. Kemudian akan bertemu dengan perawat yang akan memberikan pelayanan kepada pasien, seperti menyuntikkan obat melalui pembuluh darah, membantu keperluan pasien seperti BAK dan memandikan pasien, atau mengganti botol infus jika infus habis.

Itulah sepenggal kegiatan yang aku temukan.
Bagi sebagian orang, mungkin menjadi petugas kesahatan adalah pekerjaan yang mulia. Ingat ketika kecil, ketika kita ditanya, " Mau jadi apa nak kalau sudah besar?". Tidak sedikit yang menjawab ingin jadi dokter. Pun dengan ku, yang kubayangkan saat itu adalah menjadi dokter itu keren, bisa bantu orang sakit jadi sembuh titik.

Apa yang kemudian saat ini aku rasakan? Ternyata tidak sepenuhnya demikian. Kemuliaannya bukan terletak pada apa profesinya, tapi pada hati.

Coba pikirkan, seorang dokter saja misalnya yang bekerja melayani pasien di tempat prakteknya satu per satu, memberi obat, memberi edukasi, kemudian, pasien pulang. Atau yang lain, seorang suster ketika jam kerjanya kemudian menyuntikkan obat pada setiap pasien di jam - jam tertentu, memasang infus, membantu segala keperluan pasien, melayani, kemudian pulang. Atau seperti ini, seorang dokter spesialis bahkan yang datang untuk visit pasien - pasiennya, memeriksa, meresepkan pasiennya, kemudian sama, pulang. Lalu ada lagi, seorang prakarya yang mengantarkan makanan untuk pasien, setiap 8 jam, memeriksakan jenis makanan yang akan ia berikan kepada pasien, kemudian menyapa pasien, "Makanannya tadi habis tidak Bu? Bagaimana apakah ada yang kurang enak dengan makanannya?". Kemudian dengan senyuman ia memberikan menu makanan untuk pasien.

Apa yang membedakan menurut kalian? HATI.
Ya, profesi apapun akan menjadi mati, akan menjadi statis dan membosankan jika dikerjakan dengan alasan "ini pekerjaan". Yang penting tanggung jawabku selesai, yang penting pekerjaan ku pada jam kerjaku tuntas. Yang penting semua pasien sudah aku periksa. Atau yang penting daftar pemberian obat pada pasien sudah kukerjakan tepat pada waktunya. Atau yang penting makanan pasien sudah kuberikan.

Di mana lagi letak pasien sebagai subjek? Pasien seperti tak ubahnya benda mati yang kita acuhkan keberadaannya, lebih tepatnya kita acuhkan hatinya. Ya, sebagian kita hanya fokus pada pekerjaan masing - masing. Fokus pada tanggung jawab pekerjaannya masing - masing. Jam dinas misalnya, lebih 00.01 detik saja, jika sudah masuk pada jam kerja orang lain, pasien menjadi pasien rekan kerja kita selanjutnya. Aaah, sebegitukah kita? Atau lain lagi, ada paseien yang bertanya, "maaf dok infus anak saya macet." Jawabnya "Sana bu, ke ruang suster sebelah (dengan ketus)".

Menyedihkan, aku kemudian berkaca bahwa inilah yang seringkali kita temukan, atau bahkan kita juga yang lakukan. Terlepas dari apapun profesinya, apapun letak kontribusinya, di bagian manapun. Menjadi dokter tidak selalu lebih mulia ketimbang menjadi pengantar makanan pasien. Malah bisa menjadi lebih hina, jika tidak ada ketulusan hati di sana. Menjadi profesi apapun tidaklah cukup membanggakan jika kita hanya sebatas menyelesaikan kewajiban kita, tapi mengabaikan perasaan mereka. Namun, profesi apapun akan menjadi mulia jika kita mengerjakannya dengan hati, dengan kesungguhan, dan dengan cinta. Profesi justru akan menambah bekal dunia dan akhirat kita jika kita kerjakan dengan hati.

Alangkah indahnya jika suatu saat kita dapat membangun kerjasama yang baik, mengabdikan diri untuk bekal kita bersama. Sehingga pasien tidaklagi sebagai objek, melainkan subjek yang juga memiliki hati sehingga menjadi indah. Melakoni profesi dengan hati, hasilnya pun sampai ke hati..
Semoga.....

Anak - Anak Ini Guru Kami

Jadi koass itu melelahkan, tapi nikmat dijalanin..hehe.
Mungkin itu yang dialami sebagian kami, koass. Namanya saja ko (read:pembantu) ditambah lagi dengan ass (read:asisten). Ya itulah kami, pembantu plus asisten dokter di sini..selama 1 tahun 8 bulan kurang lebih akan terus berjuang. Perjuangan yang nanti akan terus berlanujut, long life learning. Belajar dari berbagai hal, termasuk anak - anak ini yang menjadi guru kami.

Hari ini aku bertugas di Alamanda, bagian Thallasemia. Anak - anak thallasemia menyebut ruangan ini sebagai "unit". Sekitar pukul 08.00 WIB ada sekitar 8 bed yang terisi penuh oleh pasien. Pasien thallasemi yang datang hari ini mulai dari usia 6 bulan - 19 tahun. Mereka sebagian besar sudah menginap 1 hari sebelumnya, karena transfusi darah mereka belum selesai, jadi harus dilanjutkan hari ini.

Sepertinya mereka sudah terbiasa bertemu orang - orang baru, perawat baru, koass baru, tapi tidak bagi sesama mereka, penderita kelainan darah. Bagaimana tidak, mereka rata-rata datang ke "unit" ini minimal 1 bulan sekali untuk transfusi. Hitung saja jika usia mereka 16 tahun, dan mereka mulai transfusi usia 3 tahun. Berarti mereka sudah transfusi selama 13 tahun, setiap bulan datang ke "unit". Ya, mereka penderita thallasemia dan para orang tua, semuanya sudah saling mengenal, seperti keluarga. 

Ada pula penderita hemofilia di unit ini. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak penderita thallasemia. Semua menjadi satu dalam ruangan ini. Para ibu sepertinya juga punya organisasi sendiri. Mereka punya ketua, di mana ibu ketua ini yang mengumpulkan iuran para orang tua, untuk membeli kipas angin contohnya. Maklum saja, ruangan ini cukup panas, karena sebuah air conditioner sepertinya tidak memadai untuk mendinginkan 1 ruangan, yang jika ramai bisa mencapai 20-an pasien. Ah, jelas kekeluargaan seperti ini hanya terjadi di ruangan ini, thallasemia.

Rasa kekagumanku semakin bertambah, mendapati penghuni ruangan ini amat ramah. Ibu - ibu dan putra - putrinya sepertinya sudah sangat memahami penyakit yang diderita anaknya. Mereka bisa dengan lancar menyebutkan peralatan dan obat -obatan keperluan transfusi mereka. Orang tua dengan cekatan pula melepaskan infus anaknya sendiri. Ya, benar pepatah bilang - alah bisa oleh biasa. Salut untuk mereka.

Kasih sayang orang tua juga sangat terasa di ruangan ini. Orang tua dengan cekatannya mengurus keperluan anaknya untuk transfusi, dengan sabarnya menunggui anak - anaknya hingga darah benar - benar mengalir lancar masuk ke tubuh anaknya. Dan mengelus sayang kepada anaknya, seakan berkata bahwa kamu harus kuat nak, jangan lelah untuk terus berobat. 

Mengenai kecerdasan anak - anak disini, jangan ditanya. Mereka cerdas, semangat membaca mereka boleh diapresiasi. Ada 1 rak buku di pojok ruangan ini yang menjadi langganan bacaan mereka.. Jumlahnya masih terbatas, namun cukup untuk mengobati penat mereka sembari transfusi yang cukup menyita waktu. Semangat belajar mereka luar biasa. Sebagian ada yang mampu membaca dan menuis, walaupun sebagian lagi putus sekolah karena kendala biaya. Namun cita - cita mereka luar biasa.

"Adek kalau udah gede mau jadi apa?"
"Aku mau jadi koki.."
"Kenapa mau jadi koki?"
"Jadi kok itu enak, bisa jalan - jalan..bisa makan..hati senang. Lazziis (sambil mendekatkan ibu jari dan telunjuk kanan ke mulutnya, enirukan gaya koki di tv)"
"Aku punya resep sendiri lho kak, urak - arik telor..hahaha" 
"kalau kamu??" (tanyaku pada yang lain)
"Aku mau jadi Ustadz" 
"Kenapa mau jadi Ustadz?"
"Enak jadi ustadz, pahalanya banyak.."

Aaah, cita - cita luhur mereka semoga Allah kabulkan.

Sejak saat ini, kuhaturkan terima kasih kepada adik - adik atas pelajaran yang kalian berikan. Bahwa hidup itu memang harus diperjuangkan dengan semangat. Bukan dengan mengeluhkan yang Allah sudah takdirkan, tapi mengusahakan dengan segenap kekuatan yang ada, diringi dengan keihkhlasan hati semoga Allah mampukan kita, semoga Allah kuatkan kita menghadapi semua.