Gema Takbir dari Ketinggian

Tinggal kurang dari 1 jam lagi hari akan berganti. Hari ini 10 Zulhijjah 1434 H umat Islam merayakan Idul Adha. Banyak cara mengungkap rasa. Ya, banyak cara kita untuk mengungkapkan kegembiraan kita menyambut hari raya. Tentu dengan tetap memahami esensi hari raya idul adha. Sebagian kita berkumpul dengan keluarga tercinta, menikmati menu hari raya berupa ketupat dan opor ayam. Sebagian sedang beribadah haji di tanah suci. Ada pula yang berkurban sementara yang lain menunggu bagian hewan kewan kurban. Aaaaah, jelas ada banyak cara. Sementara aku di sini juga dengan cara yang berbeda.

Ya, mungkin aku tak pantas bersedih. Karena pasti aku tak sendiri, ada banyak orang-orang yang juga belum bisa menikmati hari raya dengan berkumpul bersama keluarga. Ada banyak yang bahkan benar-benar bisa dibilang TIDAK bisa berkumpul, karena memang tidak memiliki keluarga. Ya, tidak ada alasan bagi ku untuk bersedih. Ini jalan yang kupilih sendiri, dan ini salah satu prosesnya. Bahwa pendidikan itu ada proses yang mesti dijalani. Mengikhlaskan hati bahwa saat ini belum bisa berlebaran dengan keluarga tercinta.

Di rumah sakit ini aku banyak belajar. Banyak diingatkan tentang keikhlasan profesi ini. Setiap hati ini mulai lelah dan mulai lupa akan hakikatnya, semakin pula aku berusaha mengingatkan lagi kepada hati bahwa inilah konsekuensinya. Ada kewajiban kita di sini, ada hak pasien pula yang harus kita penuhi. Ada pula hak keluarga kita yang mesti kita tunaikan. Keluh kesah pasien ini menjadi penyemangatku kembali bahwa syukur itu mesti ada, mesti ada pada kita yang sedang sehat, pada kita yang masih Allah berikan keluangan waktu, pada kita yang masih punya kelapangan, pada kita yang belum menua. Rintihan mereka semakin mengingatkanku bahwa kematian kita amalah dekat, dan kita mesti mempersiapkannya..

Aaaah, gema takbir hari ini lantang terdengar. Dari ketinggian aku coba menikmatinya. Subhanallah, indah! Dari ketinggian, Allah ajarkan kita untuk menunduk. Allah perlihatkan bahwa kita hanyalah setitik makhluk. Gunung yang menjulangpun hanya berupa gambaran nan mungil dari kejauhan. Semilir angin bersama kapuk yang beterbanganpun menjadi lebih indah dinikmati ketimbang bangunan nan tinggi. Indah !

Memang, dengan sudut pandang yang berbeda, kita mampu mengubah masalah menjadi anugerah.














Sudut kota perjuangan, dari ketinggian kita pun dapat belajar banyak hal
15 Oktober 2013-10 Zlhijah 1434 H

0 comments:

Post a Comment