Tentang Pesta Demokrasi

Sumber: dok. pribadi
Kurang lebih 1 minggu yang lalu, 9 April 2014 menjadi hari pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia. Banyak yang menggunakan hak pilihnya, tak sedikit pula yang enggan menggunakan hak pilihnya. Sebagian bersemangat menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin mereka, sebagian ada yang memilih menjadi golongan putih (golput), atau bahkan tetap memilih namun dengan merusak surat suara agar surat suaranya tidak disalahgunakan. :") Asal kita saling menghargai, it's ok.

Mungkin sebagian kita sudah pernah mendengar filsafat Jerman, Bertolt Brecht
Sumber: http://alwaysquestionauthority.com

Menarik, kurang lebih artinya begini..
"Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional." - Bertolt Brecht (Penyair Jerman).

Fenomena mengutuk politik ini marak terdengar akhir - akhir ini. Namun dengan kerendahan hati, izinkan saya mengulas dari sedikit yang saya tahu.

Saladin (dalam ejaan bahasa Arab: Shalahuddin Yusuf bin Ayyub), Sultan Mesir dan Suriah pada tahun 1187 menyerang kerajaan tentara Salib, adalah pemimpin muslim yang paling dikenal di Barat. Beliau memiliki reputasi yang baik di mata kawan dan lawan, bukan karena keahlian militernya tetapi juga karena integritas, kesopanan, dan sifat ksatria. Saladin menjadi salah satu teladan pemimpin Muslim ideal.

Suatu hari, Saladin akan memeriksa seluruh pasukan dari ujung sayap kanan ke ujung sayap kiri, menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka agar maju dan berdiri tegak pada waktu yang tepat. Jika pasukannya sudah bertarung dengan pasukan musuh, Saladin akan berkuda sepanjang barisan pasukannya, di tengah hujan panah, hanya ditemani seorang pembantu yang membawakan kuda cadangan. Bisa kita perhatikan bahwa Saladin berada di daerah berbahaya, namun ia menghindari mengadu nyawa sia - sia dengan bertarung langsung. Itu bukan tugas seorang Jendral. Dengan berada di tengah - tengah prajurit, Saladin membuat prajurit - prajuritnya mantap lagi tenang. Keberadaanya menginspirasi, jendral yang meninggal tidak bisa melakukan itu.

Selama gencatan senjata dengan Pasukan Salib tahun 1191 dan 1192, Saladin juga melakukan penguatan terhadap pertahanan kota Yerussalem, yang oleh bangsa Arab disebut dengan Al-Quds, Kota Kudus. Saladin berkuda ke sana dari perkemahannya sebelum fajar, dan beliau tidak pulang hingga larut malam. Dia menghabiskan sebagian waktu malam untuk mengurus berkas- berkas. Pemimpin harus penuh energi! Dia mengawasi sendiri masalah pembangunan. Bahkan ikut mengangkut batu, dan semua orang, baik kaya dan miskin, mengikuti contohnya. Seperti Rasullulloh SAW, Saladin memimpin dari depan.

Tidak lama sebelum wafatnya, Saladin menulis surat yang berisi nasihat kepada putranya, yang akan diangkat menjadi gubernur pertama kali. Dari surat ini mampu menggambarkan falsafah kepemimpinan beliau, Saladin:

Hindari pertumpahan darah, karena darah yang tertumpah tidak pernah tenteram. Cobalah merebut hati rakyat, dan perhatikan kemaslahatan rakyat. Karena Engkau ditunjuk ALLAH dan aku untuk membahagiakan rakyat. Cobalah untuk merebut hati emir, menteri, dan bangasawan. Aku telah mencapai kedudukan yang tinggi, karena aku dapat merebut hati orang dengan kelembutan dan kebaikan.

Ketika Saladin meninggal, pada 3 Maret 1193 di Damaskus, tempat dia juga dimakamkan, tabibnya menulis:
"Semua orang berduka untuknya, seolah mereka menangisi kepergian seorang Nabi. Saya belum pernah melihat penguasa lain yang kematiaannya begitu menyedihkan rakyat, karena dia dicintai semua orang, Muslim  maupun kafir."

Perhaitkan  pula sudut pandang Ibnu Khaldun, Kitabul Ibar (Sejarah Alam Semesta). Mengenai orang - orang Badui penghuni gurun, Ibnu Khaldun punya pendapat. Di satu pihak Ibnu Khaldun menyebut mereka "Bangsa paling biadab di bumi, yang merampas dan merusak | kalau bisa tanpa perlu bertarung atau membahayakan diri." Di  lain pihak Ibnu Khaldun menulis, "Jelas orang Badui lebih dekat dengan kepada kebaikan daripada penduduk kota."

Itu yang menjadikan orang Badui bukanlah penduduk yang mudah dipimpin. Mereka tidak terbiasa dengan bekerja secara kelompok dan cenderung individualis. "Semua orang Badui mau menjadi pemimpin," tulis Ibnu Khaldun. "Hampir tidak seorangpun yang mau mengalihkan kekuasaan kepada orang lain, bahkan kepada ayah, kakak, atau anggota tertua keluarganya." 

Namun Ibnu Khaldun memperhatikan bagaiman Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah sifat orang Badui yang kurang sopan, membanggakan diri, dan selalu ingin memimpin. Ketika agama hadir di tengah mereka, "Sifat sombong dan iri meninggalkan mereka". Meskipun begitu, anggota suku pengembara tetap memerlukan gaya kepemimpinan tertentu. "Pemimpin mereka perlu memperhatikan semangat kelompok yang diperlukan untuk mempertahankan diri. Oleh karena itu pemimpin Badui terpaksa memerintah mereka dengan lembut dan meilih menghindari memusuhi mereka. Kalau tidak, dia akan sulit menggalang semangat kelompok, sehingga dia sendiri berikut pengikutnya akan celaka."

Ibnu Khaldun menganggap bahwa memang terdapat kaidah dasar manusia, bahwa fitrah manusia itu menyukai bekerjasama. Yang penting bagi keberhasilan kerjasama adalah suatu yang disebut olehnya sebagai ashabiyah atau "Semangat kelompok". Kelompok yang memiliki ashabiyah yang kuat, dapat lebih unggul dibandingkan kelompok yang lain. Pemimpin yang bisa mengarahkan semangat kelompok sebaik mungkin, akan lebih dari pada saingan - saingannya, bahkan mampu membentuk dinasti dan negara baru.

Namun, menurut Ibnu Khaldun, sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan akhirnya mendatangkan kemewahan dan kemerosotan dalam kehidupan menetap, ashabiyah melemah, dan dunia perkotaan menjadi terancam oleh bangsa - bangsa pengembara yang bisa menggalang ashabiyah  lebih kuat. Tidak diragukan lagi, perkara - perkara itu termasuk yang dibahas  Ibnu Khaldun dengan Timur, pemimpin laskar pengembara dan penghancur kota - kota. Jadi, sejarah kerajaan - kerajaan ibarat perputaran roda. Muqaddimah Ibnu Khaldun pada akhirnya menjadi refleksi tentang kekuasaan.

Seperti itulah, Ibnu Khladun memang menghubungkannya dengan kepemimpinan, tetapi beliau mengutamakan kelompok dan naik turunnya kekuasaan atau semangat, bukan pada sifat kepemimpinan pemimpin. Pemimpin tidak bisa tetap efektif kalau pengikutnya sudah kehilangan ashabiyah. Bisa kita pahami, bisa saja kita membesar - besarkan peran satu atau beberapa pemimpin dalam keberhasilan suatu kelompok. Tapi, faktanya kepemimpinan hanyalah satu faktor, walaupun diakui penting.

Sepuluh prajurit yang dipimpin dengan bijak,
akan mengalahkan seratus prajurit tanpa pemimpin. 
EURIPIDES

Di perang Badar, 300 Muslim menang melawan 1.000 prajurit Mekkah. Kaum Muslim bukan hanya menang karena memiliki pemimpin yang hebat, tetapi juga karena ashabiyah mereka yang jauh lebih besar daripada musuh.

Betapa kita bisa banyak belajar dari sejarah. Bahwa ada peran kita terhadap pembangunan bangsa ini, Bangsa Indonesia. Ada peran kita sebagai warga negara Indonesia yang mesti kita tunaikan, mesti kita terlibat di dalamnya, karena kita merupakan bagian dari bangsa ini. Negara ini punya warga negara, yang memiliki fungsi - fungsi tertentu yang harus dilakukan. Dalam konteks ini "fungsi" ini artinya perilaku, kata - kata, atau tindakan apaun yang memenuhi kebutuhan atau bisa disebut sebagai ranah tanggung jawab kepemimpinan. Dan setiap fungsi bisa dilakukan dengan tingkat kecakapan tertentu.

Visi tanpa tugas sekedar impian,
Tugas tanpa visi sekedar bersusah payah,
Visi disertai kerja dapat mengubah dunia.
ANONIM

Bagaimana? Sudah mulai menemukan titik terangnya? Semoga ada hikmah yang bisa kita ambil bersama.
Ketika pemimpin - pemimpin besar seperti Rasullullah Muhammad SAW menginspirasi pengikutnya, adakalanya inspirasi juga seringkali berlaku sebaliknya. 

Sumber: dok. pribadi


Kepustakaan:
Adair, Jhon. Kepemimpinan Muhammad. 2010. PT Gramedia. Jakarta.

0 comments:

Post a Comment